Orangtua yang Durhaka
  • Judul: Orangtua yang Durhaka
  • sang penulis: ust Ismail Amin
  • Sumber: bagendaali.com
  • Tanggal Rilis: 20:49:24 1-10-1403

Pada suatu hari Rasulullah Saw bersama sekelompok sahabatnya melewati sebuah tempat, lalu beliau menyaksikan sekumpulan anak sedang bermain. Beliau menghentikan langkah. Sambil memperhatikan anak-anak yang sedang asyik bermain, Nabi bersabda, “Celakalah anak-anak akhir zaman lantaran ulah ayah-ayah mereka.”


“Apakah karena ayah-ayah mereka musyrik?” sahabat-sahabat bertanya.


“Tidak. Mereka ayah-ayah yang mukmin, namun tidak sedikitpun mengajarkan kewajiban-kewajiban kepada mereka. Apabila anak-anak mereka mempelajarinya, maka mereka melarangnya. Dan mereka lebih senang dengan harta benda dunia yang hanya sedikit.”


Kemudian Rasulullah Saw menampakkan kebencian dan ketidakrelaannya terhadap ayah-ayah semacam itu. Beliau bersabda, “Aku berlepas diri dari mereka, dan merekapun berlepas diri dariku.”(1)


Riwayat diatas berisi nubuat nabi tentang kondisi anak-anak di akhir zaman. Mayoritas ulama menyebutkan, masa kita sekarang ini termasuk akhir zaman. Jadi yang diceritakan nabi, adalah kondisi anak-anak kita. Riwayat diatas mengajak kita sebagai ayah untuk intropeksi diri dan banyak bercermin. Nabi menyebut anak-anak kita celaka, lantaran ulah kita sendiri. Kita vonis anak kita nakal, malah bisa jadi kita justru melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sebut anak kita bandel dan pembangkang, padahal bisa jadi memang kita tidak punya kelayakan untuk dipatuhi dan didengar. Kita tuntut anak-anak untuk memahami kita, tanpa berupaya untuk memahami anak lebih dulu. Sebelum mengeluhkan anak-anak kita, mari bertanya dulu, apakah sebagai ayah (maupun ibu), kita telah memenuhi hak-hak mereka sebagai anak?.


Kita beri mereka pendidikan, tapi justru fokus pada kepuasan diri kita sendiri. Tanpa mau tahu apa kemauan anak, kita stir mereka sesuai kehendak kita. Hobi, kesukaan dan minat mereka kita yang atur. Untuk disebut orangtua agamis dan saleh, kita tuntut anak kita bisa hafal Al-Qur’an, sementara diri kita sendiri jauh dari Al-Qur’an. Kita tuntut mereka berjama’ah di masjid, kita sendiri masih terlalu asyik untuk meninggalkan kesibukan kerja. Dengan perintah-perintah dan larangan yang kita buat, kita seolah telah melaksanakan kewajiban. Padahal yang dituntut adalah bagaimana memahamkan anak, sehingga melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dengan penuh kesadaran. Malah, kita kadang begitu terburu-buru hendak memasukkannya ke lembaga pendidikan formal, hanya agar bisa sedikit bernapas lega dari kesumpekan melayani dan bermain dengan mereka. Dulu hanya ada TK (pra SD), sekarang sudah ada pra TK, Play group, tempat penitipan anak atau apapun namanya. Padahal memiliki anak bukan hanya berurusan bagaimana membesarkannya, namun yang lebih penting adalah bagaimana mempertanggungjawabkannya. Anak adalah amanah, ujian sekaligus sebagai lumbung pahala bagi orangtuanya. Nabi bersabda, “Orangtua yang menyenangkan hati anak-anaknya, akan disenangkan hatinya oleh Allah di akhirat nanti.” Sayang, kebanyakan kita malah menganggap anak itu adalah beban, bahkan sebelum mereka lahir. Tidak sedikit yang bilang, “Punya dua anak yang masih kecil-kecil, duh tidak kebayang repotnya. Hadapi sikecil yang sendiri saja repotnya bukan main. Sulit diatur…”


Banyak orang disebut orang tua hanya karena dia sudah punya anak, bukan lagi berbicara mengenai kematangan dan kedewasaan berpikir. Bukan lagi berbicara mengenai luapan kasih sayang, perhatian dan baluran pengharapan-pengharapan yang bijak. Kita menghindari memiliki banyak anak karena takut dililit dengan persoalan ekonomi yang makin sulit. Iran pun tidak terkecuali dalam hal ini. Slogan masyarakat yang populer, “Farzande kamtar, Zendeghi behtar”, semakin sedikit anak, kehidupan semakin lebih baik, ditantang banyak ulama.


Dalam ceramah-ceramah agama mereka, tidak luput mereka memesankan masalah ini. Bahwa khawatir miskin akan keberadaan anak adalah ciri-ciri masyarakat jahiliyah. Kalau masa jahiliyah dulu, mereka membunuh anak-anak mereka setelah lahir karena khawatir miskin, sekarang, anak-anak itu sudah dibunuh sebelum terlahir kedunia.


Ayatullah Ibrahim Amini, ulama besar Iran, ahli irfan dan tasawuf, sampai harus turun tangan. Beliau yang ulama besar, karena menganggap masalah ini sedemikian penting sampai harus pula menjadi ahli parenting dan konsultan masalah anak. Beliau tidak lagi hanya melayani konsultasi bagaimana menjadi ahli suluk, namun melayani pertanyaan bagaimana menghadapi anak. Ceramah-ceramahnya bukan lagi menjelaskan istilah-istilah irfan dan tasawuf yang rumit dan pelik namun menjelaskan bagaimana agar tidak salah mendidik anak. Buku-buku parentingnya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, disampul buku terjemahan itu kadang hanya ditulis Ibrahim Amini, kadang DR. Ibrahim Amini. Padahal beliau ulama besar yang termasuk dalam Majelis Khubregan, Dewan Ahli yang bertugas menjaga Wilayah Faqih dan juga penasehat ahli Lembaga Internasional Ahlul Bait yang beranggotakan 500 cendekiawan Islam yang tersebar di banyak negara. Beliau penulis buku Islam and Western Civilization yang didiskusikan dan dikaji di universitas-universitas Barat. Mengapa sekarang kesibukannya malah lebih banyak tersita melayani konsultasi pendidikan anak?. Karena besarnya masalah ini. Karena semakin banyaknya orangtua yang melalaikan pendidikan anaknya. Sebagaimana nubuat Nabi, banyak anak menjadi celaka karena orangtuanya.


Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali as, “Wahai Ali, Allah melaknat orangtua yang mengakibatkan anak mereka tidak taat pada mereka berdua dengan melaknat mereka.”(2)


Orangtua kita dulu, memeluk kita sambil memikirkan bagaimana kelak setelah dewasa dan mereka telah tiada, apakah kita masih menjalankan agama dengan baik, sekarang, kita juga mendekap anak kita, namun dengan kekhawatiran yang berbeda. Kita diliputi kecemasan jangan sampai karir kita terhambat karena kesibukan mengurusi mereka.


Kalau dulu, orangtua kita berdo’a demi kesuksesan kita dunia akherat, kita setelah menjadi orangtua, meminta anak agar mendo’akan kemulusan karier kita.


Sungguh celakanya kita menjadi orang tua…
Wallahu ‘alam bishshawwab
 
Catatan Kaki:
(1) [Jami’ul Akhbar, hal. 124]
(2) [Wasa’il Syiah, jilid 21, hal. 290]