Mengenai tujuan terbentuknya keluarga, Al-Qur’an memaparkan setidaknya ada dua tujuan terpenting. Pertama, membentuk anggota keluarga yang saleh, kedua menjadikan keluarga sebagai salah satu faktor pembentuk masyarakat yang diridhai Allah Swt. Selanjutnya, Al-Qur’an tidak meninggalkan kita begitu saja. Setelah memaparkan tujuan terbentuknya keluarga, Al-Qur’an tidak luput untuk mengajari kita bagaimana cara untuk mencapai tujuan tersebut. Diantaranya, Al-Qur’an menguraikan kisah-kisah teladan dari para Nabi tentang bagaimana mereka membentuk keluarganya. Simak mengenai kisah Nabi Ismail As yang disampaikan Al-Qur’an berikut, “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh ahlinya (keluarganya) untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 54-55). Ayat ini menceritakan bahwa nabi Ismail As menyuruh keluarganya untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Lihat pula apa yang dilakukan nabi Ibrahim As ketika harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil di padang pasir yang terpencil. Beliau tidak berdo’a agar Allah Swt memberikan makanan kepada istri dan anak yang akan diasingkannya tersebut, tidak pula meminta agar Allah Swt memberikan jaminan tempat tinggal yang layak bagi keduanya, melainkan melantunkan do’a, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Qs. Ibrahim: 37). Permohonan pertama Nabi Ibrahim As adalah agar keduanya tetap dijadikan orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat, sementara mengenai rezeki dan makanan, Nabi Ibrahim As menempatkannya pada permohonan yang ketiga. Pada ayat-ayat selanjutnya pada surah yang sama, Nabi Ibrahim As lebih mempertegas lagi permohonannya, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Qs. Ibrahim: 40). Lihat pula pesan orangtua yang saleh Luqman al Hakim kepada anaknya, “Hai anakku, dirikanlah shalat…” (Qs. Luqman: 17). Ataupun wasiat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As kepada putranya yang tertulis dalam surat ke 31 Nahjul Balaghah yang menempatkan pesan untuk tetap mendirikan shalat diurutan teratas.
Tampak sederhana, bahwa untuk membentuk keluarga yang sakinah, langkah pertamanya, hanya menyuruh anggota keluarga yang lain untuk shalat. Tetapi apa memang sesederhana itu?. Shalat bukanlah amalan yang dikerjakan sekali, setelah itu selesai. Shalat membutuhkan kontinuitas, butuh kekuatan untuk tetap konsisten dalam menjalankannya, bukan setahun dua tahun, melainkan sepanjang umur. Karena itulah dalam mendirikan shalat, butuh bekal iman yang tidak sedikit. Butuh keyakinan yang kuat tentang Tuhan dan hari akhirat yang tetap terus dijaga. Iman bisa terkikis bahkan terhapus sama sekali, digerus oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Untuk menjaga iman agar tetap bersemayam di dada, dibutuhkan suasana lingkungan yang Islami. Lingkungan dimana Tuhan dan nilai-nilai agama diperbincangkan sedemikian penting dan sesering mungkin. Lingkungan yang didalamnya ajaran-ajaran agama diamalkan dalam laku perbuatan. Karena itu, cukup dengan shalat, semuanya insya Allah bisa tetap terjaga sesuai koridor dan alur semestinya. Sebagaimana pesan Al-Qur’an, shalat yang benar dapat mencegah seseorang dari perbuatan yang keji dan mungkar. Suami yang ahli shalat tidak akan melakukan penyelewengan, istri yang ahli shalat tidak akan menodai kesetiaan dan anak-anak yang ahli shalat tidak akan bertindak durhaka dan kurang ajar kepada kedua orangtuanya. Semuanya berjalan sesuai dengan titah agama. Dalam keluarga yang demikianlah insya Allah ditemui ketentraman dan ketenangan jiwa.
Untuk lebih meyakinkan mari kita simak apa yang disampaikan Imam Ja’far Shadiq as kepada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Ya putra Rasulullah Saw, saya memiliki keluarga yang mendengarkan dan patuh atas semua perkataan saya. Beritahukan kepadaku apa yang mesti saya wasiatkan kepada mereka?”. Imam Ja’far Shadiq membaca ayat, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..” (Qs. At Tahrim: 6) kemudian beliau berkata, “Pertama, nasehatkan kepada keluargamu untuk menghindari perbuatan-perbuatan buruk. Kedua, ajak mereka pada ketaatan kepada Allah Swt dengan memerintahkan shalat dan puasa. Ketiga, ajari mereka untuk membiasakan etika dan adab sopan santun. Misalnya memberikan uang kepada orang fakir, saling memberi hadiah dan ucapan selamat di hari-hari perayaan serta bagaimana menyambut dan memuliakan tamu.” (Bihar al Anwar jilid 71 hal. 86).
Dikisahkan pula, Ayatullah Murtadha Muthahari (salah seorang ulama Iran) sebelum azan subuh berkumandang telah terjaga dari tidurnya. Ia dengan begitu berhati-hati dan pelan mendirikan shalat malam. Beliau tidak ingin aktivitasnya itu menganggu atau membangunkan anggota keluarganya yang lain, bahkan pada saat mengambil wudhu, ia begitu menjaga agar tetesan air wudhunya tidak terdengar. Namun sesaat menjelang azan, beliau membangunkan seluruh anggota keluarga, istri dan anak-anaknya untuk menunaikan shalat subuh secara berjama’ah.
Namun sayang sekali, perhatian untuk menjaga shalat sudah mulai ditinggalkan oleh keluarga-keluarga modern. Pesan untuk shalat sudah terkesan kuno dan ketinggalan zaman. Tidak jarang, orangtua lebih senang membangunkan anaknya untuk menonton pertandingan sepak bola di televisi dari pada membangunkannya untuk shalat subuh. Anak lebih sering dinasehatkan untuk rajin belajar, supaya pintar yang dengan itu bisa masuk di sekolah yang bonafid, dan bisa diterima dilapangan kerja. Orientasi belajar dan menuntut ilmu bukan lagi diarahkan untuk lebih mengenal diri dan Tuhan, melainkan supaya bisa mendapat kursi ditempat-tempat kerja. Kedua orangtua pun sibuk mencari nafkah dalam upayanya mencari biaya sekolah buat sang anak. Paradigma mendidik anak bergeser drastis. Mendidik anak bukan lagi berbicara mengenai petuah dan nasehat kebajikan, melainkan bahasa asing apa lagi yang belum dikuasai anak agar tidak ketinggalan dalam bergaul. Bukan lagi berbicara mengenai keteladanan orangtua, tetapi seberapa banyak uang saku yang bisa orangtua berikan. Mendidik anak cenderung disama artikan dengan menyekolahkan anak. Semakin anak disekolahkan setinggi-tingginya terlebih lagi di sekolah yang mahal dan elit, maka semakin terpandang pula kedudukan orangtua di tengah-tengah masyarakat sebagai orangtua yang berhasil dalam mendidik anak. Tentu tidak salah menyekolahkan anak setinggi-tingginya, namun menjadi salah kalau sampai seratus persen menyerahkan persoalan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Keluarga semestinya menjadi lembaga pendidikan bagi anak yang pertama dan utama, sementara masyarakat dan sekolah hanyalah sebagai faktor penunjang. Keluarga yang bisa menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan non formal bagi anak hanyalah keluarga sakinah. Caranya, jadilah ahli shalat dan tularkan pada anak.
Walllahu’alam Bishshawwab