Suatu hari nabi Musa berjalan di padang sabana. Ia bertemu dengan penggembala yang sedang memuja Tuhan dengan caranya.
Di antara ungkapan penggembala:
Di manakah Engkau hingga aku bisa berkhidmat padaMu
Akan kujahit sepatuMu, dan kusisir rambutMu.
Akan kucuci pakaianMu dan kuhempaskan debu-debu
Akan kutuangkan susu untukMu duhai Junjunganku
(Matsnawi, jilid 2, bait 1721-1822)
Nabi Musa as seketika marah mendengar kalimat-kalimat di atas. Ia menganggap si penggembala itu telah menyekutukan Tuhan. Nabi Musa memintanya untuk bertaubat. Lalu penggembala pergi dengan penuh penyesalan.
Tidak lama, nabi Musa mendapat teguran dari Tuhan. Begini Rumi menyampaikan redaksinya.
Wahyu datang dari Tuhan kepada Musa
Wahai Musa, engkau telah jauhkan hamba-ku dariku
Engkau diutus untuk mendekatkan hamba kepadaku
Bukan membuat mereka lari dariku
(Matsnawi, jilid 2, bait 1750-1751)
Nabi Musa segera menyadari kekeliruannya lalu mencari penggembala tadi. Ia ingin minta maaf dan menjelaskan bahwa apa yang dilakukan penggembala tidak salah.
Ungkapanmu kepada Tuhan adalah caramu beragama
Dan itu telah membuatmu nyaman, begitu juga semesta seharusnya menjadi tentram
(Matsnawi, jilid 2, bait 1785)
Melalui cerita itu, Rumi seolah ingin berbagi. Seorang yang beriman, seharusnya tidak merasa terganggu dengan berbagai ragam keyakinan dan cara beragama orang lain. Bahkan, ia perlu memberikan perlindungan dan ketentraman bagi siapapun.