Alkisah, sepasang kekasih sedang duduk berdampingan, sebut saja mereka Ashiq dan Ma’shuq. Alih-alih menikmati kebersamaan dan berbincang tentang indahnya perjumpaan, Ashiq malah mengeluarkan tumpukan surat yang ia tulis dengan penuh kerinduan saat berjauhan. Kemudian ia membacakannya di hadapan sang kekasih. Ashiq terus membaca tak menghiraukan suasana yang mulai jenuh hingga mengundang tanya bagi Ma’shuq “Kenapa kamu membacakan surat-surat itu, padahal sekarang aku ada di sampingmu. Ini kah makna cinta buatmu?”. Lalu Ashiq pun mencurahkan isi hatinya. “Ya, kamu memang sekarang ada di dekatku. Tapi, aku tidak merasakan kehadiran jiwamu. Aku tidak lagi merasakan keindahan. Aku tidak lagi dapat menyelam dalam beningnya bola matamu”.
Kisah tersebut diceritakan Maulana Jalaluddin Rumi dalam kitab Matsnawi jilid 3 bait 1406-1449. Rumi mengadaptasi cerita ini dari kitab al-Aghani karya Abu al-Faraj Isfahani yang merupakan ensiklopedia syair terlengkap abad ke-10. Dalam buku ini, tokoh yang oleh Rumi disebut Ashiq adalah sosok laki-laki dan Ma’shuq menggambarkan tokoh perempuan.
Karim Zamani dalam kitab Tafsir Matsnawi yang ia tulis memberikan catatan, tokoh Ashiq merupakan simbolisasi dari ‘pejalan pemula’. Alih-alih ia menggunakan momentum ‘perjumpaan’ untuk dapat mengasah ketajaman spiritual, malah terjebak pada ritualitas yang hanya tampak indah di permukaan.
Rumi melanjutkan cerita tersebut dengan menghadirkan dialog segar Ma’shuq yang menjawab keresahan Ashiq. Jika dari sudut pandang Ashiq, ia tidak lagi dapat merasakan getaran cinta sebagaimana yang ia alamai sebelumnya karena Ma’shuq telah berubah. Namun menurut Ma’shuk, pasangannya lah yang belum memberikan cinta seutuhnya. Cintanya masih terjebak oleh ruang dan waktu. Begini kata Ma’shuq:
Bagimu, aku bukanlah kekasih sejati
karena kau membuat jiwa kita begitu berjarak
Sebenarnya engkau telah menduakan cintamu
Kau mencintaiku juga mencintai sebuah keadaan
Aku hanya bagian dari cintamu
Tapi bukan seluruh cintamu
Aku mungkin hanya rumah persinggahanmu, bukan tujuan akhir
Aku hanya seperti lemari besi, bukan barang berharga yang ada di dalamnya
Lewat tokoh Ma’shuq, Rumi sebenarnya sedang menjelaskan tentang bagaimana menjadi pecinta sejati. Ia yang selalu hadir dengan segenap jiwa dalam setiap perjumpaan dan cintanya selalu diperbaharui, tidak terjebak oleh sebuah situasi dan keadaan. Pecinta sejati juga memberikan cintanya secara utuh. Dalam tradisi sufi, cerita seperti ini diangkat untuk mengingatkan kembali totalitas seorang pejalan dalam meraih keridhaan-Nya.
Dalam konteks yang lebih luas, puisi-puisi Rumi, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Maulana Rumi sendiri memuat tafsir berlapis, sehingga memungkinkan untuk dimaknai secara kontekstual. Bagi saya sendiri, potongan cerita ini juga mengingatkan pada makna sebuah ‘kehadiran’ dalam menguatkan relasi dengan orang-orang di sekitar kita.
Seringkali perjumpaan yang kita lakukan dengan pasangan, anak, keluarga, atau pun sahabat dan teman dinodai oleh sebuah gawai. Kita hanya berkumpul secara fisik di ruang yang sama, tapi pikiran dan hati kita sibuk berselancar di tempat lain. Bagaimana kita bisa menyelam lebih jauh dan saling membangun rasa percaya jika di setiap perjumpaan tidak pernah menghadirkan hati.