Rasulullah Saw bersabda, “Manusia yang teguh
pendiriannya selalu ditemukan di masjid-masjid, di mana
malaikat Allah duduk dan akrab bersama mereka. Ketika
mereka tidak hadir di masjid malaikat akan mencarinya,
ketika mereka sakit malaikat akan menjenguknya, dan
karena membutuhkan bantuan dalam pekerjaan-
pekerjaannya, malaikat akan membantu mereka.” (Bihar
al-Anwar, jilid 80)
Pada shalat jamaah, orang-orang berdiri dalam satu
barisan dan menanggalkan semua atribut duniawi seperti,
kedudukan, etnis, bahasa, status sosial, dan lain-lain.
Di situ yang terlihat hanya keakraban dan pertalian
hati di antara para jamaah. Pertemuan kaum Mukmin dalam
barisan shalat memberikan kehangatan serta menumbuhkan
kekuatan dan harapan.Shalat jamaah merupakan pentas
untuk merapatkan barisan, mendekatkan hati, dan
memperkuat semangat persaudaraan. Kehadiran di masjid
merupakan bentuk lain dari kegiatan silaturahim, yang
memberi ruang untuk terciptanya semangat kepedulian
sosial.
Ada banyak riwayat yang mendorong kaum Muslim untuk
menumbuhkan sikap kepedulian sosial itu. Dalam sebuah
riwayat disebutkan, “Jika seorang jamaah bermakmum
kepada imam, maka setiap rakaat dari shalat mereka
memiliki pahala 150 shalat, dan jika dua orang
bermakmum, setiap rakaatnya memperoleh pahala 600
shalat, dan semakin banyak jumlah jamaah, maka pahala
mereka akan semakin besar hingga mencapai 10 orang dan
jika jumlah mereka sudah lebih dari 10, maka jika
seluruh langit menjadi kertas, laut menjadi tinta,
pepohonan jadi pena, dan jin, manusia, dan malaikat
jadi penulisnya, mereka tidak akan mampu mencatat
pahala satu rakaat shalat tersebut.”
Bulan Ramadhan memberi nuansa baru bagi kehidupan kaum
Muslim dan mereka berusaha untuk menunaikan shalatnya
secara berjamaah di masjid-masjid. Bersama datangnya
Ramadhan, sejumlah masjid menyusun program-program
khusus seperti, kegiatan shalat berjamaah, tadarus,
menggelar kelas agama, dan lain-lain. Masyarakat Islam
juga menaruh perhatian besar untuk memakmurkan masjid
di bulan Ramadhan dan mereka antusias mengikuti
kegiatan ceramah agama dan safari Ramadhan yang digelar
di masjid-masjid.
Menurut ayat suci al-Quran dan perkataan para imam
maksum,ikhlas merupakan landasan agama dan pondasi yang
kokoh baginya. Dalam surat az-Zumar ayat 11, Allah Swt
berfirman, “Katakanlah! Sesungguhnya aku diperintahkan
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”Para ulama
akhlakmentamsilkan ikhlas dengan susu murni, yang tidak
ada warna kemerahan di dalamnya dan juga tidak
tercampur dengan noda, tapi sepenuhnya murni dan suci.
Niat dan perbuatan ikhlas juga seperti itu dan sama
sekali tidak ada motivasi lain di dalamnya kecuali
tulus karena Allah Swt. Orang-orang yang ikhlas adalah
mereka yang tidak menaruh harapan kepada siapa pun
selain Allah Swt, lahir dan batin mereka sama, mereka
tidak mengenal kelelahan dan penyesalan, serta pujian
dan cacian masyarakat sama di mata mereka.
Sementara riya’ – sifat yang bertentangan dengan
ikhlas–bermakna pamer diri dan memamerkan dirinya
kepada orang lain. Dengan kata lain, seseorang
melakukan perbuatan dengan niat untuk mempertontonkan
kepada orang lain dan ia menikmati pujian dan sanjungan
yang diperoleh dari masyarakat. Perasaan riya’
merupakan salah satu sarana penting syaitan untuk
menyesatkan manusia. Syaitan menyalahgunakan kebutuhan
alamiah manusia akan pujian dan membuat mereka
berbangga diri serta menyibukkan mereka dengan aspek-
aspek lahiriyah perbuatan.
Syaitan berupaya maksimal untuk merusak dan mengotori
perbuatan manusia dengan riya’. Syaitan kadang
membisikkan manusia untuk menunaikan shalat dengan
tenang, tidak tergesa-gesa, dan khusyu’ sehingga
lingkungan sekitar menganggapnya sebagai seorang mukmin
dan shaleh. Namun, godaan syaitan kadang dilakukan
dalam bentuk yang lebih halus dan tampil dalam jubah
ketaatan. Sebagai contoh, syaitan berkata, “Engkau
adalah orang alim dan masyarakat menilaimu, jika engkau
memperindah shalat dan ibadahmu, mereka akan bermakmum
di belakangmu dan engkau ikut serta dalam pahala
mereka.”
Model godaan syaitan sesekali muncul dalam bentuk yang
lebih rumit dan tersembunyi.Misalnya saja ia berkata
kepada orang yang sedang shalat, “Jangan dirikan shalat
berjamaah, sebab di sana mungkin saja niatmu akan
ternodai, cukup tunaikan shalatmu di rumah saja, atau
ketika engkau shalat di tengah jamaah, tinggalkanlah
shalat sunnah dan shalatlah dengan cepat sehingga tidak
terkontaminasi dengan riya’.” Sayangnya, tidak sedikit
orang yang terjebak dalam godaan ini dan mereka harus
kehilangan pahala shalat sunnah yang sangat ditekankan
oleh agama.
Bulan Ramadhan merupakan sebuah kesempatan berharga, di
mana manusia selain bisa memperoleh berkah puasa, juga
melatih dan menambah kadar keikhlasan di seluruh amalan
lain sehingga menghasilkan sebuah perbuatan yang bebas
dari riya’. Puasa merupakan satu-satunya amal ibadah
yang terlepas dari riya’, karena aturan-aturan dalam
puasa seperti, tidak makan dan tidak minum pada waktu
tertentu, dapat disembunyikan dari khalayak. Kecuali
ada pengakuan dari orang yang sedang menjalaninya.
Berkenaan dengan puasa, Sayidah Fatimah az-Zahra as
berkata, “Allah mewajibkan puasa untuk mengokohkan
keikhlasan.”
Suatu hari, Abu Dzar duduk di sisi Ka’bah sambil
berpikir bahwa berdiam diri tidak ada gunanya dan lebih
baik bangkit memberi nasihat kepada masyarakat. Dia
kemudian bangkit dan berkata, “Wahai manusia! saya
adalah Jundab al-Ghifary, sahabat Rasulullah, kemarilah
kalian untuk menemui saudara kalian yang menasehati
dengan penuh kasih sayang.”Maka tatkala mereka
berkumpul disekelilingnya, Abu Dzar bertanya, ”Bukankah
kalian tahu bahwa jika salah satu di antara kalian
ingin berpergian maka dia akan mempersiapkan bekal yang
akan mengantarkannya ke tempat tujuan?”Mereka menjawab,
”Benar, memang demikian seharusnya wahai Abu Dzar.”
Abu Dzar pun berkata, ”Jika demikian, maka ketahuilah
bahwa perjalanan di Hari Kiamat lebih jauh dari apa
yang kalian tuju di dunia ini, maka ambillah bekal yang
dapat menyelamatkan kalian.”Mereka bertanya, ”Apakah
bekal yang layak kami persiapkan untuk perjalanan
tersebut wahai sahabat Rasulullah?”Beliau
menjawab,”Tunaikanlah ibadah haji, berpuasalah di hari
yang panas untuk menghadapi lamanya berdiri di Padang
Mahsyar, shalatlah dua rekaat di kegelapan malam,
karena alam kubur itu menakutkan. Berbicaralah dengan
santun dan jangantanggapi ucapan buruk untuk menghadapi
saat-saat sendirian di Padang Mahsyar, bersedekalah
dengan hartamu, agar kalian selamat dari kesusahan di
hari itu.”
Abu Dzar kemudian melanjutkan, ”Jadikanlah dunia untuk
dua majelis;majelis untuk mencari rezeki yang halal dan
majelis untuk mengejar akhirat. Adapun majelis ketiga,
akan mendatangkan kerugian bagi kalian. Wahai Manusia!
Jadikanlah harta milikmu menjadi dua bagian; bagian
pertama sebagai nafkah yang halal untuk keluargamu dan
bagian kedua untuk bekal akhiratmu, selain itu akan
mendatangkan madharat bagimu.”
Sahabat besar Rasulullah Saw ini mengatakan, “Wahai
manusia! Jadikanlah dunia menjadi dua waktu; pertama
waktu yang sudah lewat dan kalian tidak bisa
mengembalikannya, kedua waktu yang belum datang dan
kalian juga tidak yakin apakah kalian akan tetap hidup
di waktu itu. Untuk itu ambillah waktu yang sekarang.
Sekarang engkau berada di dalamnya dan gunakan ia untuk
keuntungan kalian dan berjuanglah untuk melawan
ketidaktaatan kepada Allah. Janganlah berbuat dosa atau
kalian akan binasa.”