Ada Apa Saja di Bulan Sya’ban?
  • Judul: Ada Apa Saja di Bulan Sya’ban?
  • sang penulis: Nur Khalik Ridwan
  • Sumber: alif.id
  • Tanggal Rilis: 14:18:41 3-9-1403

Telah disebutkan dalam tulisan sebelumnya, bahwa di bulan Sya’ban, atau dalam bahasa Jawa disebut bulan Ruwah, adalah bulan dimana catatan amal manusia dalam setahun oleh malaikat-malaikat pencatat dilaporkan kepada Allah Robbul `Alamin.

Selain itu, di bulan Sya’ban terdapat perintah kepada Nabi Muhammad sholllahu `alaihi wasallam untuk berpindah kiblat dari Baitul Muqaddas ke Kakbah. Perpindahan ini memang dinanti Rasulullah dengan harapan yang kuat. Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan satu pendapat Abu Hatim al-Busti soal ini, begini:

“Abu Hatim al-Busti Rohimahullah berkata: ‘Kaum muslimin salat menghadap Baitul Muqoddas selama 17 bulan, ditambah tiga hari. Hal itu (terjadi karena) sesungguhnya Nabi datang ke Madinah, pada hari Senin, malam ke-12 pada tengah bulan Rabi`ul Awwal, dan Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk (salat) menghadap ke Kakbah pada hari Selasa di Nishfu Sya’ban” (Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkamil Qur’an).

Sementara Imam Malik, yang juga dikutip al-Qurthubi, meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin Musayyab menyebutkan bahwa “perpindahan kiblat itu terjadi dua bulan sebelum Peran Badar”.

Soal kiblat ini, menurut Jumhur Ulama, seperti Ibnu Abbas dan selainnya berpendapat:

“Wajib menghadap kiblat (ke Kakbah) itu dengan perintah Allah dan wahyunya. Kemudian Allah menasakh (menghapus) itu dan memerintahkan kepada Nabi untuk salat menghadap Kabah” (Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkamil Qur’an, II: 149). Mereka ini (para mayoritas ulama) berdalil dengan ayat:

Pertama:

“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia (al-Baqarah: 143).

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (al-Baqarah: 144)

Taqdirul A’mar

Selain itu, pada bulan Sya’ban juga terjadi peristiwa yang disebut oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki sebagai “taqdirul a’mar” atau ditentukannya takdir manusia. Dalam sebuah riwayat Sayyidah Aisyah disebutkan begini:

“Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya (semua harinya). Sayyidah Aisyah berkata: “Wahai Rosulullah, sebaik-baik bulan menurut engkau, (sehingga) engkau berpuasa di Bulan Sya’ban?” Rosulullah menjawab: “Sesunguhnya Allah menulis di dalammnya setiap jiwa yang mati tahun itu, dan saya senang ajalku mendatangiku dan saya sedang dalam keadaan berpuasa.”

Riwayat ini disebutkan pada Musnad Abu Ya’la (No. 4911). Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam Ma Dza fi Sya’ban, menyebutkan bahwa hadis ini ghorib (asing/janggal) tetapi isnad riwayatnya Hasan. Bukan hanya riwayat itu, tetapi juga hadis diriwayatkan berkaitan dengan banyaknya Nabi berpuasa di bulan Sya’ban, dan kemudian disambung dengan Ramadan.

Hanya saja, memang puasa pada bulan Sya’ban ini bukan wajib, sehingga Nabi kadang-kadang juga tidak berpuasa penuh pada baulan Sya’ban. Musykilnya, kemudian ada riwayat yang menyebutkan di dalam hadis Imam Muslim, riwayat Abu Hurairah yang menyebutkan:

“Seutama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan Allah di bulan Haram”. Sementara bulan Sya’ban tidak termasuk bulan haram, kenapa Nabi berpuasa setelah Ramadan, terbanyak pada bulan Sya’ban ini?

Untuk menyelesaikan kemusykilan ini, Sayyid Muhamamd bin Alwi al-Maliki menyebutkan, begini:

“Atau karena beliau ada udzur, atau karena bepergian atau sakit yang mencegahnya memperbanyak puasa di dalam (di bulan haram), sebagaimana apa yang dikatakan Imam an-Nawawi” (Ma Dza fi Sya’ban). Jadi, tidak dilakukannya puasa terbanyak di bulan haram oleh Nabi, salah satu alasannya karena bisa jadi ada udzur, sakit, bepergian, dan lain-lain.

Akan tetapi juga jelas, Nabi mengetahui pada bulan Syaban ini, juga bulan yang istimewa, sebagaimana riwayat di atas, sehingga Nabi mengisinya dengan banyak puasa di siang hari.

Lailatut Takfir wal Ijabah

Pada bulan ini juga ada Malam Nishfu Sya’ban, yang di antara nama-nama dari pertengahan Sya’ban disebut dengan “Lailah Takfir”, karena menurut as-Sanhuri al-Maliki:

“Sebagaimana telah ada (penjelasan) dari Imam as-Subki di dalam tafsirnya karena sesungghnya itu (Malam Nishfu Sya’ban) menghapus dosa-dosa setahun, dan malam Jumat menghapus dosa-dosa seminggu, dan Lailatul Qodar menghapus dosa-dosa seumur” (as-Sanhuri, Risalatul Kasyfi wal Bayan `an Fadha’ili Lailati Nishfi Sya’ban, versi Dar Jawami`il Kalim).

Maksud menghidupkan malam Nishfu Syaban adalah menghidupkan malam itu dengan amal-amal kebaikan, yang disebut dengan “menghapus dosa-dosa setahun”.

Dinamakan juga pertengaan Sya’ban itu dengan “Lailatul Ijabah”, karena ada perkataan dari Ibnu Umar:

“Ada lima malam yang tidak ditolak di dalamnya sebuah doa, yaitu malam Jumat, malam Nishfu Sya’ban dan dua malam pada dua hari raya.”

Menurut as-Sanhuri al-Maliki, riwayat ini disebutkan Abdur Rozaq dalam Mushonnaf-nya; al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan ad-Dailami dari Abu Umamah.

Imam asy-Syafi`i juga menegaskan dalam al-Umm: “Telah sampai riwayat kepada kami: ‘Sesungguhanya doa dikabulkan dalam lima malam, malam Jumat, malam Adhha, malam Idul Fithri, dan awal malam bulan Rojab, dan malam pertengahan Sya’ban’.”

Sedangkan dalam riwayat Abu Darda’ disebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:

“Malam Nishfu Sya’ban Yahbithu ar-Rahman ilas sama’id dunya dan melihat amal-amal para hamba, maka Alloh mengampuni mereka yang meminta ampun, dan menerima taubat orang-orang yang bertaubat, dan menjawab orang-orang yang meminta, dan mencukupi orang-orang yang bertawakal…”

Dosa-dosa yang diampuni dalam riwayat Abu Darda’ ini disebutkan selain dosa kemusrikan.

Karena malam yang istijabah itu, Nishfu Sya’ban adalah malam yang juga disebut oleh sebagian ulama sebagai bulan “Itqun Minan Nar”.

Di dalam masyarakat Jawa bulan ini disebut Ruwah, dan ada yang mengisinya sebulan penuh diisi tahlil dan mendoakan para leluhur dan ahli qoryah.

Walhasil, berbagai amalan untuk menghidupkan tengah malam Sya’ban khususnya pada Nishfu Sya’ban, banyak dilakukan umat Islam yang telah mengerti, yaitu membaca Alquran, memperbanyak salat tashbih, sholat hajat, salat taubat, dan berbagai salat sunah; juga dzikir-dzikir, tadabbur fi kholqillah li idrokish Shoni’, munajat-munajat, dan lain-lain.

Sedangkan pada siang harinya menjalankan puasa semampunya dan melakukan kegiatan-kegiatan yang baik, seperti kasbul halal, ishlahu dzatil bain, silaturahim, dan lain-lain. Wallahu a’lam.