Mengukuhkan Pendidikan Akhlak
  • Judul: Mengukuhkan Pendidikan Akhlak
  • sang penulis: Sri Fitria Ningsih
  • Sumber: abuthalib
  • Tanggal Rilis: 6:5:52 2-10-1403

Makna Akhlak

Secara etimologis, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu al-khuluq yang berarti al-sajiyyah (karakter), ath-tabhi (tabiat atau watak), al-adah (tradisi atau kebiasaan), al-din (agama), al-muruah (harga diri). Sedangkan menurut pandangan para ulama Islam, meskipun beragam dalam menyusun defenisinya namun setidaknya ada defenisi umum yang dirumuskan, yaitu akhlak merupakan karakter yang telah tertanam (malakah) dalam jiwa manusia sehingga mengarahkannya dengan mudah untuk melakukan tindakan-tindakan. Misalnya, Allamah Thabathabai mendefenisikan ilmu akhlak sebagai ilmu yang membahas pembawaan-pembawaan manusia yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan tumbuh-tumbuhan, kekuatan binatang, dan kekuatan kemanusiaan untuk membedakan keutamaan dari keburukan agar manusia berhias dan bersifat dengannya sehingga mendapatkan kesempurnaan kebahagiaan ilmiahnya. (Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan Jilid I, 1991, hal. 370).

Adapun Imam al-Ghazali mendefenisikan akhlak sebagai bentuk jiwa (nafs) yang terpatri, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Apabila suatu bentuk memunculkan beragam perbuatan indah dan terpuji berdasarkan akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah). Sebaliknya, jika darinya muncul beragam perbuatan buruk, ia dinamakan akhlak tercela (akhlak mazmumah).

Selanjutnya, Imam al-Ghazali menjelaskan perbedaan akhlak dengan perbuatan (fi’il), kemampuan (qudrah), dan pengetahuan (ma’rifah). Menurutnya, khulq (akhlak) bukanlah perbuatan (fi’l). Karena, banyak orang yang khulq-nya dermawan tetapi tidak mendermakan harta, mungkin lantaran kehabisan harta atau halangan tertentu. Terkadang pula, khulq-nya bakhil (pelit) tetapi ia mendermakan harta, mungkin karena motif-motif tertentu atau riya. Khulq juga tidak sama dengan kemampuan (qudrah), sebab, kemampuan dinisbahkan pada menahan diri dan memberi. Tetapi, terhadap keduanya yang berlawanan ini keadaannya sama. Setiap orang diciptakan dengan fitrah dalam kondisi yang mampu memberi dan menahan. Itu tidak menyebabkan munculnya khulq kebakhilan dan khulq kedermawanan. Khulq juga bukanlah pengetahuan (ma’rifah), sebab, pengetahuan berkaitan dengan kebaikan dan keburukan sekaligus pada tingkatan yang sama. Akan tetapi khulq merupakan malakah yakni bentuk yang dengannya jiwa bersiap-siap untuk memunculkan sikap menahan diri atau memberi. Jadi, khulq adalah bentuk jiwa dan rupa batiniah (Lihat Kamal Haydari. Manajemen Ruh. 2004, hal. 29-30).

Dengan demikian akhlak merupakan sifat psikologis (ruhaniah) dan bukan suatu tindakan atau perbuatan, meskipun al-amal al-ikhtiari merupakan manifestasi luarnya. Akhlak juga bukanlah hasil dari sebuah kebetulan, karena ia berupa pembawaan yang melekat dalam jiwa (malakah). Maka, malakah harus memiliki fondasi sebagaimana bangunan memerlukan fondasi. Adapun fondasi-fondasi akhlak ialah naluri, keturunan, lingkungan, pendidikan, dan kebiasaan (M. Amin Zainuddin. Membangun Surga di Hati Dengan Kemuliaan Akhlak. 2004, hal. 25-26)

Sumber-Sumber Akhlak

Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa manusia memiliki pembawaan-pembawaan yang berhubungan dengan tiga domain kekuatan yang terhimpun dalam diri manusia, yaitu kekuatan tumbuh-tumbuhan, kekuatan kebinatangan, dan kekuatan kemanusiaan. Ketiga kekuatan ini yang mengarahkan manusia pada dimensi moralitas (akhlak terpuji) atau juga akhlak rendah yang tercela (Allamah Thabathabai. Tafsir al-Mizan, h. 370-371). Sedangkan Imam Khumaini, menyebutkan tiga daya atau fakultas batin yang penting dan menjadi sumber bagi seluruh malakah (watak/karakter) baik maupun buruk dan dasar bagi seluruh bentuk-bentuk gaib yang tinggi. Ketiga daya itu adalah  al-quwwah al-wahmiyyah (daya imajinasi atau pencitraan), al-quwwah al-ghadabiyyah (daya amarah), al-quwwah al-syahwiyyah (daya syahwat). Ketiganya, lanjut Imam Khumaini, bisa menjadi pasukan Sang Maha Pengasih yang akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan bagi manusia jika semuanya mengikuti akal sehat dan ajaran para nabi Allah yang mulia, sebaliknya jika dibiarkan apa adanya, maka semua daya itu akan menjadi pasukan setan (lihat Imam Khumaini. 40 Hadis, 2004, hal.16-19).

Jiwa (nafs) adalah esensi surgawi yang menggunakan tubuh dan memanfaatkan berbagai organ lain untuk mencapai maksud dan tujuannya. Tetapi, perlu diketahui bahwa jiwa (nafs) bukanlah sesuatu yang kosong hampa tanpa memiliki potensi-potensi keruhanian, melainkan suatu wujud inti dari keberadaan manusia yang unik, luar biasa, dan penuh daya yang tak terbatas untuk senantiasa menyempurna dengan cara menyerap asma-asma ketuhanan, atau pula sebaliknya menjadi hina karena lebih mementingkan sisi kebinatangannya. Seperti disebutkan al-Quran bahwa manusia adalah sebaik-baik ciptaan, namun dapat pula ia dilemparkan ke dalam jurang kecelakaan yang penuh kehinaan, “Sesungguhnya kami menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Kemudian kami campakkan ia ketempat yang serendah-rendahnya” (Q.S. At-Tin: 4-5)

Penting diperhatikan, bahwa potensi diri kemanusiaan bermata ganda yaitu mengandung sisi negatif dan positif sekaligus. Hal itu dikarenankan, jiwa manusia memiliki kecakapan yang meliputi keduanya. An-Naraqi menyebutkan empat kecakapan utama yang dimiliki oleh jiwa, yaitu :

    Kecakapan akal (al-quwwah al-aqliyah)—bersifat malaikat.
    Kecakapan amarah (al-quwwah al-ghadabiyah)—bersifat buas.
    Kecakapan nafsu (al-quwwah ash-shahwiyah)—bersifat binatang.
    Kecakapan imajinasi (al-quwwah al-wahmiyyah)—bersifat kejam.

Fungsi keempat kecakapan itu sangatlah berguna bagi kehidupan manusia. Sebab, apabila manusia tidak memiliki akal, tidak akan mungkin dapat membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Apabila tidak memiliki kekuatan amarah, dia tidak dapat melindungi dirinya dari serangan, dan apabila kekuatan seksual tidak ada, keberadaan spesies manusia akan punah. Sedangkan, jika tidak memiliki kekuatan imajinasi, maka dia tidak dapat menggambarkan (visualize) hal-hal yang universal dan hal-hal yang partikular dan membuat kesimpulan dari gambaran tersebut (an-Naraqi. Penghimpun Kebahagiaan: Jami’ as-Saadat. 2004, hal.19-20)

Dari keempat daya atau kecakapan di atas, diakui bahwa, kecakapan akal merupakan potensi termulia dan terbaik. Ia menjadi cahaya bagi jiwa untuk menjadi suci, sempurna dan bahagia. Jika, akal menjadi raja yang mengendalikan semua kecakapan lainnya, maka manusia akan mencapai perkembangan ruhani yang menjadikan dirinya dekat kepada Allah swt. Namun, jika akal menjadi tawanan dari ketiga daya di atas, maka saat itu akal akan bertindak menyalahi tabiat aslinya yang selalu benar. Misalnya, jika kekuatan akal mengabdi kepada kekuatan ghadab, syahwat, atau wahmiyyah, maka seseorang akan menjadi tiran di muka bumi, sehingga akan bertabiat sewenang-wenang, menebar kerusakan, menjadi teman setan, menghalalkan segala cara, dan mengingkari kebaikan serta mengerjakan kejahatan. Jadi, keempat daya ini menjadi sumber-sumber penting bagi perilaku manusia.