Tentu maksud dari tawakal bukanlah bahwa manusia harus terus beri’tikaf di mesjid. Hanya sibuk dengan beribadah dan berdoa kepada Allah dan menghabiskan waktunya siang dan malam dengan perkara-perkara tersebut. Serta sama sekali tidak melakukan aktivitas dan mencari nafkah. Dengan harapan, Allah sendiri langsung memberikan rezeki dari langit. Tidak ragu lagi, orang-orang seperti ini telah melakukan kekeliruan dan belum memahami maksud hakiki dari tawakal. Seperti apa yang telah diisyaratkan dalam sebuah riwayat:
Suatu hari, Rasulullah saw melihat sekelompok orang hanya duduk dan tidak bercocok tanam, beliau bertanya, “Siapa kalian?”
Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang bertawakal.”
Rasulullah bersabda, “Bukan, akan tetapi kalian adalah beban masyarakat.”[1]
Pada dasarnya, ketika seseorang benar-benar sudah mengenal Allah Swt, ia akan mengetahui ketentuan dari hikmah Ilahi bahwa segala sesuatu terwujud melalui proses sebab akibat.
Terkadang berupa sebab materi dan tabiat, terkadang berupa sebab maknawi, dan alangkah banyak dari sebab-sebab tersebut tidak bersifat materi, melainkan nonmateri. Bagaimanapun, hikmah Ilahi menuntut bahwa setiap fenomena akan terwujud melalui sebab-sebab yang telah ditentukan. Dari sini ilmu dan pengetahuan tentang Allah Swt dan hikmah-Nya akan menimbulkan pengetahuan tentang ketentuan-ketentuan hikmah- Nya, dan dengan tegaknya hukum-hukum kausalitas, pada akhirnya kesempurnaan manusia tergantung kepada aturan tersebut. Melalui hal itu, manusia mangalami ujian dan penempaan. Jika tidak, manusia tidak akan mencapai kesempurnaannya, sebab kesempurnaan manusia tergantung pada ketaatan mereka pada tugas-tugas kehambaan. Hal itu juga ada pada hubungan-hubungan kemanusiaan, di mana hubungan-hubungan tersebut berada di bawah hukum sebab akibat. Jika manusia memilih untuk hidup menyendiri dan menyibukkan diri hanya untuk beribadah, tanpa memedulikan kehidupan keseharian, tidak melakukan aktivitas dan usaha, maka ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah Ilahi. Jika demikian, maka akan sia-sia saja manakala manusia menunggu datangnya rezeki dari sisi Allah Swt.
Hikmah Ilahi menuntut manusia untuk bergerak di jalan yang mengarahkan mereka kepada apa-apa yang dibutuhkan dan yang dikehendakinya, yaitu dengan sebab-sebab yang telah ditentukan.
Seandainya dengan sebuah doa dan ucapan “ya Allah” semua keinginan manusia bisa terwujud, maka tidak ada orang yang pergi bekerja untuk mencari rezeki, dan manusia tidak akan pernah diuji. Masalah-masalah merupakan ujian bagi manusia; dengannya manusia akan meraih kesempurnaan atau dia akan mengalami kegagalan dan jatuh. Jika dalam setiap tahapan telah ditentukan tugas-tugas bagi setiap manusia, maka tujuannya adalah supaya manusia mencari sebab-sebab. Seperti halnya ketika lapar, mereka harus bekerja dan hasil dari pekerjaan akan memunculkan (pilihan) hubungan antara pekerja dan tuan, pelanggaran terhadap harta orang lain, kezaliman, yang zalim dan yang dizalimi, yang terisolir dan yang lemah, serta yang diktator dan yang sombong.
Seandainya (siapa saja) hanya dengan salat dua rakaat, dan setelah salat di depannya, langsung tersedia makanan dari surga, maka tidak akan ada lagi arti ujian. Semua manusia akan menjadi saleh, dan tidak akan bisa dibedakan antara yang taat dan yang maksiat. Tidak bisa diketahui siapa saja yang, demi ketaatan kepada Allah Swt, berani menanggung kesulitan, dan siapa saja yang hanya memanfaatkan usaha orang lain.
Alhasil, terkadang di balik hukum sebab akibat biasa, hikmah Ilahi menuntut munculnya sesuatu yang luar biasa, seperti apa yang terjadi pada Sayidah Maryam as, …setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.[2]
Perkara ini terjadi berdasarkan hikmah Ilahi dan Allah Swt hendak memperlihatkan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang pantas. Dan karunia yang diberikan kepadanya itu sesungguhnya juga menjadi ujian baginya agar orang lain dapat mengambil nasihat: apakah dengan mendapat karunia sebesar ini ia bersyukur ataukah tidak.
Terlepas dari perkara-perkara pengecualian dan yang jarang ini, hikmah Ilahi dalam banyak hal menuntut berjalannya sesuatu berdasarkan sebab-sebab yang lazim. Sekarang, seandainya seseorang berkata, “Aku tidak mau sampai kepada tujuan dengan melalui sebab-sebab,” kehendaknya ia tidak sejalan dengan kehendak Allah Swt, juga ia harus bergerak bertentangan dengan kehendak-Nya. Ketika Allah menentukan hukum ini (sebab-akibat), bagaimana bisa ia meminta haknya kepada-Nya. Dengan berbuat tidak sesuai hukum yang ditetapkan-Nya, ia berkhayal bahwa ilmunya di atas ilmu-Nya. Dia menginginkan agar lewat si fulan kamu mendapatkan rezeki, akan tetapi kamu menolaknya dan menginginkan dari yang lain. Sementara ia sebelumnya memohon rezeki dari Allah Swt. Ini tidak lain hanyalah kemalasan dan keinginan yang bertentangan dengan hikmah Ilahi. Jika dikatakan bahwa kemestian mencari dan memanfaatkan sebab-sebab untuk bisa mencapai tujuan bukan berarti bahwa rezeki kita bisa didapat dengan usaha dan kerja. Akan tetapi semua ini dari Allah dan semua aturan itu ada di tangan-Nya, termasuk rezeki. Sementara manusia hanya memiliki kewajiban untuk mencari sebab-sebab, sehingga tujuan-tujuan Ilahi bisa terwujud dalam kerangka aturan tersebut, dan seluruh tujuan tadi dicapai dalam rangka mengantarkan manusia pada kesempurnaan.
Maka, orang yang bertawakal hendaknya jangan sampai meninggalkan kerja dan usaha, seperti orang-orang yang tidak bertawakal. Hanya saja perbedaan antara kedua kelompok ini berhubungan dengan hati mereka. Orang-orang bertawakal dengan motivasi untuk taat kepada Allah dan berusaha bertumpu dan berharap kepada-Nya, sementara manusia yang tidak bertauhid dan tidak bertawakal, mencari rezekinya dalam usaha yang dia lakukan atau dari pemberian orang lain. Mereka yang bertakwa tidak menaruh harapan kecuali kepada Allah, walaupun ia tidak bisa meraih sebab-sebab, harapannya tidak berkurang sedikit pun.
Kandungan sebagian riwayat menyatakan bahwa seorang mukmin lebih berharap pada apa-apa yang berada di sisi Allah. Sebab, mungkin saja harta yang ia miliki saat ini akan hilang, tetapi khazanah yang dimiliki Allah Swt tidak akan hilang atau berkurang.
(Disadur dari Rohiyan-e Kuye Dust karya Ayatullah Mishbah Yazdi)
[1] Mustadrak al-Wasâ’il, jil.11, hal. 217.
[2] QS. Ali Imran [3]: 37.