Tawassul, Tanda Cinta Nabi pada Ummatnya
  • Judul: Tawassul, Tanda Cinta Nabi pada Ummatnya
  • sang penulis: Ismail Amin
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 18:14:19 1-9-1403


Oleh; Ismail Amin

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada- Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah : 35).

Al-Qur’an menyatakan kepada kita bahwa ada suatu cara pendekatan “al-wasilah” untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, dan kita diperintahkan mencarinya. Salah satu wasilah pendekatan kepada Allah SWT yang kebanyakan kaum muslimin melupakannya, malah oleh rekayasa sejarah dianggap kesyirikan adalah tawassul. Sesungguhnya tawassul dan wasilah berasal dari akar kata yang sama. Tawassul adalah usaha pendekatan kepada Allah melalui perantara yang lebih taat kepada Allah. Karena melalui perantara maka wasilah ini dianggap kesyirikan dengan dalih mengganggap ada selain Allah yang bisa mendatangkan manfaat dan memberikan mudharat atau praktik berdoa melalui perantara sama halnya memohon pertolongan kepada selain Allah. Sesungguhnya dalih ini tidak beralasan menganggap tawassul adalah usaha yang sesat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Apalagi menyamakan tawassul dengan menyembah berhala atau praktik tawassul kaum kafir jahiliyah yang menjadikan patung-patung buatan mereka sendiri sebagai perantara diri mereka dengan Allah.

Alasan praktik penyembahan kaum kafir jahiliyah dilarang dan dianggap kesyirikan bukan karena menggunakan perantara melainkan keyakinan mereka terhadap berhala yang mereka jadikan perantara dapat mendatangkan kehancuran dan memberikan manfaat. Alasan selanjutnya adalah mereka menggunakan perantara yang salah, perantara yang menurut prasangkaan mereka dapat memberikan pertolongan padahal yang mereka jadikan perantara tidak dapat memberikan manfaat apa-apa, “Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka.” (Qs. Ar-Ra’d: 14).

Sedangkan jika bertawassul kepada orang yang dekat kepada Allah dan tidak meyakini bahwa yang menjadi perantara memiliki kekuatan sendiri selain dari Allah tetapi yang mereka miliki adalah kedudukan ruhani di sisi Allah dan Allah tidak mengabaikan permohonan mereka apabila mereka berdoa kepada Allah atas diri kita, bukanlah perbuatan syirik. Dan saya akan memberikan beberapa referensi singkat mengenai hal ini.



Memohon Kepada Allah Melalui Perantara

Saya akan mengawalinya dari yang telah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin, bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa memohon kepada Allah melalui perantara, secara prinsip adalah sah. Tidak ada perbedaan dikalangan ummat Islam mengenai bolehnya tiga jenis tawassul kepada Allah :

1. Bertawassul kepada orang yang sangat dekat kepada Allah yang masih hidup. Contohnya seorang pelajar memohon di doakan oleh ulama agar bisa memiliki konsentrasi penuh dalam belajar. Tawassul sejenis ini juga pernah dilakukan oleh putra-putra Nabi Yakub as, "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah ". (QS. Yusuf : 97). Begitu juga pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat yang meminta kepada Rasulullah saww agar memohon kepada Allah SWT supaya menurunkan hujan bagi mereka. (HR Bukhari No. 1013 dan Muslim 897)
2. Bertawwassul kepada Allah melalui perbuatan baik dan amal salehnya. Contohnya, pada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya tentang tiga orang yang terkurung oleh batu besar dalam sebuah gua. Mereka memohon kepada Allah SWT melalui perantaraan amal-amal saleh yang pernah mereka lakukan.
3. Bertawassulnya seseorang kepada Allah melalui nama-nama-Nya yang indah. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan Allah memiliki Asma’ul Husna (nama-nama yang indah) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu…” (Qs. Al-A’raf: 180).

Karena legalitas tiga jenis tawassul ini telah disepakati, tidak ada alasan untuk menunjukkan bukti. Ketidaksepakatannya adalah bertawassul kepada seorang yang shalih yang telah meninggal dunia.

Disini, saya kemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Hakim melalui rangkaian perawi dari Usman bin Hunaif, "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah saww dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata, "Ambillah air wudhu, lalu beliau berwudhu dan sholat dua rakaat, dan berkata: "Bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah, kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar".

Dari hadits ini, praktik tawassul adalah absah dalam ibadah, secara implisit hal ini tidak hanya membenarkan tawassul kepada orang saleh yang masih hidup (seperti Nabi yang waktu itu masih hidup) tetapi juga membenarkan keabsahan tawassul melalui orang yang sudah meninggal dunia juga, karena dari gambaran hadits tersebut, Rasulullah saww mengajarkan rangkaian lafadz do’a tanpa menyampaikan keharamannya untuk dibaca apabila beliau telah meninggal dunia. Artinya setiap memiliki hajat-hajat yang serupa, lafadz do’a tersebut bisa dibaca kapan saja, tidak ada syarat atau kaitannya dengan kehidupan dan kematian Rasulullah saww. Pada hakikatnya, tawassul melalui orang yang masih hidup atau sudah meninggal bukan melalui tubuh fisik, kehidupan atau kematian, tetapi melalui makna positif (ma’na tayyib) yang melekat pada orang itu baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal. Tubuh hanyalah kendaraan yang memuat makna, yang dalam dirinya tetap dihormati baik dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal.

Dalam surah an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. Ayat ini menegaskan ketaatan kepada Rasulullah saww tidak memiliki kaitan dengan kehidupan dan kematian beliau, meskipun Rassullah saww sudah meninggal dunia sehingga kaum muslimin pada masa ini tidak hidup bersama beliau dan tidak bisa bertemu langsung namun ajaran-ajaran, pesan-pesan moral serta sabda-sabdanya adalah keniscayaan untuk ditaati bagi segenap kaum muslimin tanpa terkecuali disetiap tempat dan masa. Karenanya demikian pula dengan kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya, setiap dari umatnya yang telah menzalimi diri mereka sendiri ‘datang’ kepada Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT maka Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun buat mereka. Pada bagian yang lain banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan. Adalah salah besar jika memahami bahkan meyakini bahwa dengan kematian segala sesuatu yang menyangkut dengan manusia berakhir sudah dan tidak ada yang tersisa dari manusia selain tubuh fisiknya yang secara bertahap kembali melebur menjadi tanah. Al-Qur’an menegaskan bahwa kematian fisik tidak meniscayakan kehidupan ruh juga turut berakhir, melainkan ruh terus hidup meski telah berpisah dengan raganya. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Qs. Al-Baqarah: 154). Tidak ada keraguan sama sekali, bahwa Rasulullah saww adalah yang termasuk gugur di jalan Allah bahkan yang paling utama. Berdasarkan ayat ini, pada hakikatnya Rasulullah saww masih hidup, masih mendapat rezeki dan nikmat-nikmat dari Tuhannya, maka berdoa dengan menjadikan beliau saww sebagai wasilah masih tetap absah dan berlaku sebagaimana sahabat-sahabat Nabi dimasanya melakukannya. Karenanya, bagi ulama atau kelompok Islam yang mempersyaratkan bahwa tawwasul yang diperbolehkan adalah melalui perantaraan orang-orang shalih selagi masih hidup maka bertawassul melalui Rasulullah saww dan orang-orang yang gugur di jalan Allah termasuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan, dan dalil untuk menyebutnya syirik atau kesesatan tidak cukup kuat sebab akan mendapat penentangan dari Allah SWT, “… mereka tidaklah mati, mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”



Kasih Sayang yang Tak Berkesudahan

Saya nukilkan satu ayat lagi yang semakin mempertegas bahwa terpisahnya ruh Rasulullah saww dengan jasadnya bukanlah akhir hubungan dan keterikatan beliau dengan umatnya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman. Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzab: 56). Perintah Allah SWT untuk mengucapkan salam dengan penuh penghormatan kepada Rasulullah saww bukanlah salam-salam tanpa makna atau sekedar formalitas belaka. Ketika Rasulullah saww bersabda bahwa menjawab salam wajib hukumnya, maka perintah Allah SWT kepada orang-orang beriman untuk menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad saww meniscayakan kenyataan yang takkan terbantahkan bahwa Nabi Muhammad saww akan menjawab setiap salam yang disampaikan kepadanya.

Menakjubkan! Adalah sangat tidak adil, jika kaum muslimin yang hidup sezaman dengan Rasulullah saww setiap mereka menzalimi diri, cukup dengan mendatangi Rasulullah saww dan memohon ampun kepada Allah SWT dan Rasulullah saww pun turut memohonkan ampun hanya berlaku semasa Rasulullah saww hidup dan kaum muslimin pasca wafatnya Rasulullah saww tidak memiliki kesempatan serupa untuk dimohonkan ampun oleh Rasulullah saww sementara kewajiban-kewajiban syariat terus berlaku untuk segenap kaum muslimin di setiap masa termasuk mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah saww. Sangat tidak adil, jika sahabat-sahabat setiap berdosa dapat segera menemui Nabi dan meminta agar Nabi memohonkan bagi mereka ampunan Allah diyakini sebagai tauhid, begitu juga putra-putra Nabi Ya’qub as yang telah meminta kepada ayah mereka agar memohonkan ampunan Allah bagi mereka (sebagaimana tersurat dalam surah Yusuf ayat 97-98) disebut sebagai bagian dari tauhid namun ketika permohonan ampun kepada Allah SWT melalui Nabi-Nya setelah wafatnya disebut sebagai syirik dan membatalkan keimanan.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya nukilkan dua riwayat yang semoga dapat menghilangkan keraguan kita akan keabsahan bertawassul kepada Nabi saww, bahwa tanpa beban psikologis apapun kita katakan, tawassul adalah salah satu mukjizat dan karomah kenabian, Nabi Muhammad saww. Adalah wajar, Rasululah saww sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah, diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT.

Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Ad-Darami (dalam Sunan Ad-Darami: 1/56), meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”.

Konklusinya adalah, jika kaum muslimin yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah saww setiap melakukan kesalahan atau memiliki hajat bisa memohon kepada Allah SWT dengan perantaraan Nabi, maka kaum muslimin setelahnya pun bisa melakukannya. Rasullah saww adalah rahmat bagi semesta alam, kebaikan dan keberkahannya tidak hanya didapatkan oleh orang-orang yang semasanya dan tidak pula berakhir dengan wafatnya. Kepada Nabi Muhammad saww, Allah SWT berfirman, “…dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) kententraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Qs. At-Taubah: 103).

Allahumma inni atawajjahu ilaika binabiyyika nabiyyirrahmati Muhammadin shallallahu ‘alaihi wa alihi…

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (perantaraan) Nabi-Mu, nabi pembawa rahmat, Nabi Muhammad, shalawat atasnya dan atas keluarganya…

Wallahu ‘alam bishshawwab