Perempuan Sebagai Pendidik
  • Judul: Perempuan Sebagai Pendidik
  • sang penulis: Euis Daryati MA
  • Sumber: ikmalonline.com
  • Tanggal Rilis: 13:41:42 3-9-1403

Pendidikan, menurut Ayatullah Ibrahim Amini adalah “membantu seorang individu yang menjadi objek pendidikan supaya dapat dengan sempurna mengembangkan segenap potensi yang ada dalam dirinya, dan secara perlahan bergerak maju menuju tujuan dan kesempurnaan yang diharapkan.”[1]
Seorang perempuan adalah pelaku pendidikan yang paling utama, baik pendidikan formal maupun non formal. Dalam pendidikan formal, perempuan berperan sebagai guru atau pendidik di lembaga-lembaga formal (sekolah). Sifat perempuan yang umumnya penyabar, luwes, dan telaten membuatnya mampu berperan sebagai guru yang baik baik anak-anak. Apalagi, pendidikan anak-anak usia balita sangat memerlukan ketelatenan dan kesabaran yang ekstra.


Anak Belajar Sejak di Dalam Rahim
Sementara itu, peran perempuan dalam pendidikan non formal adalah aktivitas perempuan dalam proses pendidikan yang tidak terikat oleh aturan-aturan resmi dan formal. Contoh konkritnya adalah ketika perempuan berstatus sebagai seorang ibu. Kata ‘ibu’ atau ‘umm’ yang banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan riwayat memiliki arti ‘akar’ atau ‘sumber’. Makna ini diambil karena janin minimal enam bulan dan maksimal sembilan bulan berada dalam rahim perempuan. Sementara masa tinggal nuthfah di shulbi ayah hanya sebentar saja. Janin mengambil segenap kekuatan jasmani dan ruhani dari wujud ibu, dan secara kontinyu menyerap segala nutrisi yang dibutuhkannya dari ibunya. Ibu merupakan ‘umm’ atau sumber eksistensi seorang anak [2].
Keberhasilan seorang perempuan dalam menjalankan peran sebagai pendidik non formal bagi anaknya sangat bergantung pada kepribadian si perempuan itu sendiri. Pasca wafatnya Sayidah Fathimah a.s., Imam Ali a.s. berkata kepada saudaranya, Aqil, “Carikan untukku seorang istri yang dapat melahirkan sosok pemberani.” Artinya, karakter-karakter anak yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan sangat bergantung kepada karakter si perempuan itu sendiri. Perempuan pemberani akan melahirkan anak-anak yang pemberani, perempuan yang fasik (gemar berbuat dosa), besar kemungkinan akan melahirkan anak-anak yang kelak kemudian akan meniru perbuatan ibunya.

Rasulullah SAWW pun pernah bersabda, “Orang yang bahagia ialah orang yang bahagia ketika di rahim ibunya, dan orang yang sengsara ialah orang yang sengsara ketika di rahim ibunya.”[3] Ilmu psikologi modern pun kini menemukan bahwa emosi yang dirasakan oleh seorang ibu akan dibawa oleh molekul-molekul dalam tubuh ibu ke plasenta janin, sehingga dapat memengaruhi perkembangan otak dan emosi bayi.
Bahkan, pola makan ibu selama hamil pun akan ‘dipelajari’ oleh janin. Sebagaimana ditemukan oleh peneliti dari Universitas Southampton, pola makan ibu selama trimester pertama kehamilan memiliki resiko terhadap obesitas anak-anak. Ibu yang makan terlalu banyak tanpa dikontrol dengan pola diet yang seimbang cenderung memiliki bayi yang berbakat obesitas (kegemukan di luar normal).
Segala perilaku seorang ibu di waktu hamil akan memberikan dampak terhadap pertumbuhan jasmani dan ruhani janin. Segala nutrisi dan suplemen yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh terhadap kesehatan jasmani janin, sementara segala sikap, ucapan dan prilaku ibu hamil akan mempengaruhi perkembangan psikologis dan ruhani janin. Itulah sebabnya, dalam berbagai riwayat disebutkan betapa pentingnya ibu hamil menjaga makanan dan perilakunya. Bahkan sejak sebelum hamil pun, seorang perempuan perlu menjaga diri dengan cara berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri. Imam Shadiq a.s. mengatakan bahwa ketika suami istri melakukan hubungan biologis dengan menyebut nama Allah swt, maka setan akan menjauh darinya. Akan tetapi jika tidak disebut nama Allah swt, maka setan akan ikut serta dan disamping itu, aktifitasnya pun dianggap berasal dari setan dan anak yang terlahir dianggap sebagai hasil kerja sama dengan setan. [4]


Pendidikan Setelah Anak Lahir
Ketika bayi sudah terlahir ke dunia, proses pendidikan pun terus berlangsung. Pada masa menyusui, ibu sesungguhnya sedang mendidik anaknya. Perilaku ibu selama periode menyusui sangat berpengaruh kepada anak. Anak yang disusui dalam keadaan tenang dan dimulai dengan menyebut nama Allah, tentunya akan berbeda dengan anak yang diberi ASI dalam keadaan sebaliknya. Ibu yang menyusui anaknya sambil menghafal Al Quran, tentu akan memberikan efek psikologi berbeda dibanding bila ibu menyusui anak sambil menggosip atau melakukan kegiatan dosa lainnya.
Imam Muhammad Baqir as berkata, “Mintalah wanita-wanita suci (yang senantiasa dalam keadaan wudhu) untuk menyusui anakmu, karena air susu itu menulari.”[5] Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Perhatikanlah, siapa yang menyusui anak-anakmu, karena anak akan tumbuh sebagaimana keadaannya.”[6] Ibu seorang ulama terkemuka, Ja’far Shushtari, menyatakan bahwa dia selalu menyusui putranya itu dalam keadaan berwudhu.[7] Penelitian modern pun menemukan bahwa interaksi kasih sayang antara ibu dan bayi saat menyusui serta kualitas ASI sangat berpengaruh pada perkembangan sistem syaraf otak dan kecerdasan bayi.
Selepas masa menyusui, peran perempuan dalam mendidik anak pun semakin bertambah besar. Sering orang menyangka bahwa kemampuan mendidik anak adalah naluri seorang ibu. Namun Imam Ali a.s. pernah berkata bahwa “Didiklah anak sesuai dengan zamannya.” Artinya, ibu perlu terus belajar bagaimana cara pola asuh yang benar. Salah satu konsep pendidikan yang penting untuk dipegang dalam mendidik anak adalah sebagaimana yang disampaikan Imam Ali a.s. berikut ini, “Sayangilah dan layanilah anak sampai usia tujuh tahun, kemudian didiklah anakmu selama tujuh tahun dan di tujuh tahun ketiga suruhlah anakmu untuk ikut membantu urusan keluargamu!”[8]

CATATAN :


[1] Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik Anak, hal.5-6.
[2]Husen Ansharian, Nizam-e Khanwade dar Islam, hal. 434.
[3] Bihar al-Anwar, jil.43, hal.44
[4] Muhsin Faiz Kasyani, Tafsir Shafii, jil 3, hal. 203
[5] Wasâ’il asy-Syî`ah, juz 15, hal., 185
[6] Wasâ’il asy-Syî`ah, juz 15, hal., 188.
[7]Husen Ansharian, Nizam-e Khanwade dar Islam, hal. 440
[8] Wasâ’il asy-Syî’ah, juz 15, hal., 195.