semakin jauh era Rasulullah berlalu, semakin jauh pula umat Islam dari penghormatan kepada perempuan. Kehidupan perempuan muslim di negara-negara islam terlihat jelas berada dalam “hegemoni Islam”. Atas nama Islam, kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekspresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh suatu aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, dan dalam kancah politik, suaranya tidak begitu diperhatikan atau bahkan diabaikan sama sekali. Fenomena ini terlihat jelas di negara- negara Dunia ketiga yang umumnya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim.
Hari ini, kita melihat betapa banyak beredar hadis-hadis yang “merendahkan” perempuan, misalnya “Barangsiapa menuruti istrinya, maka ia akan masuk neraka”, “Tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” atau “Aku tak menyaksikan orang yang kurang akal dan agamanya, dibanding perempuan,”. Lalu, seorang perempuan bertanya, “Apa kekurangan kami?”. Kekurangan akalnya, karena kesaksian dua orag wanita dinilai sama seperti kesaksian seorang pria. Kekurangan agamanya, karena seorang di antara kamu tak puasa di bulan Ramadhan (akibat haid), dan beberapa hari diam tanpa shalat.” (H.R Abu Dawud).
Selain hadis-hadis populer tadi, hadis-hadis yang banyak beredar adalah hadis-hadis yang difokuskan kepada perempuan. Misalnya, “Bila perempuan telah menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan, menjaga kehormatandan mentaati suami, maka dikatakanlah kepadanya; masuklah kedalam surga dari pintu mana saja yang kamu suka.” (H.R Ahmad dan At-Thabarani). Lalu bagaimana dengan laki-laki? mengapa jarang beredar (dalam arti: para ulama jarang menyebarluaskannya) hadis-hadis tentang kewajiban laki-laki untuk berperilaku baik terhadap istrinya atau bersikap sabar kepada istri?
Belum lagi bila kita melihat berbagai penafsiran terhadapayat qur’an, misalnya ar-rijaalu qawwamuuna alan-nisaa (QS.4:34) diartika sebagai laki-laki harus memiliki kedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Sehingga, dalam segala bidang perempuan dianggap tidak berhak untuk memimpim (ayat ini pula yang dipakai untuk menjegal pencalonan Megawati dalam pemilu tahun 2004), atau ayatalladzi khalaqakum min nafsi wahidahwa khalaq minha zawjaha. (QS 4:1). Disini diartikan bahwa Hawa berasal dari tulang rusuk Adam, yang artinya perempuan itu subordinatnya laki-laki. (disebut-sebut pula bahwa tulang rusuk itu bengkok, sehingga harus “diluruskan” oleh laki-laki).
Hal tersebut telah menimbulkan kesalahan cara pandang atau paradigma masyarakat muslim terhadap perempuan. Termasuk kesalahan kaum perempuan dalam memandang dirinya sendiri. Dari sudut ini bila kita hendak ber-husnuzhan-, sebagian besar para pejuang feminisme di Indonesia sesungguhnya adalah kaum muslimah yang melihat hukum-hukum islam yang sepertinya tidak adil, dan kemudian merasa terpanggil untuk meprotes dan meneriakkan perubahan. Bila kita mau jujur, di sekitar kita dengan mudah bisa di temukan berbagai bentuk ketidakadilan perilaku masyarakat muslim terhadap perempuan, yang mengatasnamakan islam.
Bukan hal yang aneh bila kita mendengar anak perempuan yang dipaksa menikah oleh orangtuanya, perempuan yang diterlantarkan oleh suaminya yang mempunyai istri muda, perempuan yang ditalak begitu saja tanpa diberi bantuan keuangan oleh mantan suami, atau prinsip bahwa “perempuan tak perlu sekolah tinggi, karena pada akhirnya hanya mengurusi dapur semua.” Belum lagi kalau kita bahas pula sistem rumah tangga yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Perempuan selalu dianggap memiliki kewajiban domestik ( memasak, mencuci, mengurus anak), sehingga meskipun seorang perempuan mempunyai karir (dan memiliki kontribusi pada pada penghasilan keluarga) Begitu ia pulang kerumah, sederet pekerjaan rumah sudah menunggu, sementara sang suami berhak untuk beristirahat.
Anehnya, paradigma seperti ini diturunkan pula secara turun temurun oleh perempuan sendiri. Contoh mudahnya anak laki-laki akan dibelikan mainan mobil-mobilan ibunya, sementara anak perempuan diberi mainan masak-masakan. Pulang sekolah, anak laki-laki bebas bermain sementara anak perempuan harus membantu ibu di dapur. Hadis-hadis dan riwayat mengenai Rasulullah Saww yang menjahit sendiri sendalnya yang robek, lalu, Imam Ali as yang membatu Sayyidah Fathimah (s.a) mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Imam Khomeini (r.a) mengambil sendiri makanannya di dapur dan mencuci piringnya sendiri, seolah-olah lenyap begitu saja dalam lembaran-lembaran sejarah.
Di sekitar kita, kita akan melihat bahwa semakin rendah tingkat perekonomian masyarakat, semakin besar pula penindasan yang terjadi terhadap perempuan. Fenomena banyakya TKW Indonesia YANG Terpaksa bekerja di luarnegri (dan harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan jam kerja yang panjang, perlindungan kerja yang tidak jelas, serta rentan penyiksaan dan pemerasan), memperlihatkan dengan jelas ketertindasan perempuan.
Karena perempuan yang seharusnya dinafkahi, malah harus membantu membanting tulang untuk membiayai keluarganya termasuk suaminya sendiri. Para oknum pun dengan kejam memeras uang para TKW tersebut setibanya mereka di bandara tanah air. Belum lagi jika kita melihat buruh-buruh perempuan, di pabrik-pabrik yang tidak mendapat cuti haid atau melahirkan, sehingga setiap saat mereka bisa dipecat karena terpaksa membolos karena kondisi fisiknya melemah akibat haid atau pasca melahirkan.