Perempuan dalam Perspektif Agama Samawi
  • Judul: Perempuan dalam Perspektif Agama Samawi
  • sang penulis: Sekha al-Idrus
  • Sumber:
  • Tanggal Rilis: 13:29:15 3-9-1403


Oleh: Sekha al-Idrus

Prolog

Pandangan dunia dan ideologi manusia berkaitan erat dengan pandangan dunia dan ideologi yang disodorkan oleh agama yang dipeluknya. Dalam berbagai hakikat wujud dan substansi yang dimilikinya, pemeluk suatu agama mempunyai perspektif terhadap agama berupa serapan pikiran atas apa yang dibaca atau didengarnya. Ketika proses penerimaan kebenaran terhadap konsep agama tidak dibarengi dengan koreksi dan kritik maka kemungkinan kesalahan memperspektifkan berbagai subtansi wujud akan semakin melebar. Di saat konsep yang sudah menjadi keyakinan atau masih dalam proses berpikir tidak sesuai dengan kenyataan dan kejadian (alam misdaq) maka, sudah pasti manusia akan tergiring jauh dari hakekat wujud dan terjerumuslah ia dalam dunia khayal, kehampaan dan berbagai kesalahan. Dan akar kesalahan dalam keyakinan terhadap idealitas wujud adalah kesalahan dalam memperspektifkannya.Kesalahan perspektif terhadap konsep di dalam Islam telah sampai pada pembahasan perempuan, yang oleh sebagian kalangan masih dianggap tabu. Walaupun pembahasan perspektif gender dalam Islam telah muncul sejak kelahirannya, namun ketika terjadi benturan dengan tuntutan sosial misalnya, diskursus ini ramai dibicarakan kembali. Banyak hal yang harus diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan terutama anggapan kaum laki-laki lebih utama daripada kaum perempuan. Banyak kalangan yang berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin. Islam tidak sejalan dengan paham patriarki yang tidak memberikan peluang bagi perempuan untuk berkarya lebih besar di dalam atau di luar rumah. Al-Qur’an tidak mengenalkan konsep dosa warisan dari ibu-bapak umat manusia (Hawa dan Adam) dalam skandal buah terlarang, melainkan itu tanggung jawab bersama keduanya. Perbedaan anatomi fisik dan biologis antara laki–laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan.

Salah satu langkah membersihkan pikiran dari kesalahan berperspektif terhadap suatu substansi wujud—yang dikenalkan oleh agama atau agama berperan dalam menjelaskan eksistensi wujudnya—dengan mengadakan kajian perbandingan antara berbagai argumentasi agama dalam suatu topik bahasan. Langkah ini mesti didahului oleh penjelasan ukuran kebenaran dan kesalahan suatu argumentasi, supaya mudah bagi kita menentukan mana dalil yang tepat dan memuat perspektif yang benar di antara agama samawi tersebut.

Ilmu Logika menjelaskan standar kebenaran suatu argumentasi, ditandai oleh kesesuaiannya dengan fakta kejadian di realita (alam misdaq). Dengan membandingkan korelasi mafhum maudhu dan mahmul suatu premis dengan misdaq-nya, kita dapat mengecek kebenaran sebuah argumentasi. Dalam artikel ini, dipaparkan beberapa topik pilihan dengan argumentasi dari agama Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam mengenai perempuan, disertai koreksi atas muatan kebenarannya. Diharapkan pembaca lebih mudah mempresepsikan mana unsur keyakinan yang benar.

Urgensi sebuah keyakinan tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa, melihat dan menilai kredibilitas amal manusia berdasarkan keyakinan dan niatnya dalam beramal.

“Ilahi bukakan mata hati kami untuk mengenal lebih terperinci kebenaran agama-Mu, sehingga dengan itu kami dapat menuju kepada kedekatan diri kepada-Mu sebagai esensi penghambaan kami terhadap-Mu …. âmîn yâ Rabbal Alamîn “.

Wanita dalam Pandangan Agama

Sebelum menganalisa lebih jauh tentang tentang kedudukan wanita dalam Islam, dalam makalah ini akan dijelaskan secara sekilas pandangan dari berbagai agama sebagai bahan studi komperatif. Sumber yang dijadikan pijakan pertama adalah posted mailist yang memang keakuratannya masih patut dipertanyakan. Akan tetapi pendapat yang muncul dalam mailist disertai juga dengan sumber yang disepakati sebagai rujukan. Ini bukan hanya sekedar untuk mengobati kekahawatiran, tetapi merupakan tuntutan dalam diskusi.

Dari berbagai pandangan yang muncul tersebut kemudian penulis mencari literatur Islam yang berkaitan dan mencoba menganalisanya dengan pendekatan al-Qur’an berdasarkan kitab-kitab tafsir yang ada.

Yang mencolok di sini adalah kutipan terhadap sub topik wanita dalam pandangan Agama Katolik dan Yahudi, menstrual taboo dan perspektif gender dalam Islam yang kami ambil dari Jurnal Paramadina. Akan tetapi kutipan tersebut semata-mata hanya dijadikan acuan dalam studi perbandingan sekaligus melengkapi berbagai sudut pandang.

Wanita dalam Pandangan Agama Katholik dan Gereja

Pertanyaan dan jawaban dari sebuah mailist[1]

Mohon penjelasan pada Romo atau saudara-saudara seiman tentang hal-hal berikut ini. Karena terus terang saya melihat kedudukan dan posisi perempuan tidak sebaik posisi dan kedudukan pria. Apalagi dari buku-buku yang saya baca hal tersebut dilanggengkan oleh mitos “Hawa Penyebab Dosa”. Benarkah pendapat-pendapat tersebut? Bagaimanakah sebenarnya kedudukan wanita dan pria dalam pandangan Katholik dan Gereja (Mohon penjelasan dan tanggapan secepatnya).

Ini adalah jawaban dari al-Kitab (Saya sadur dari komentarnya Mas Yudhi).

1. “Tidaklah Adam yang tertipu tapi Hawalah yang tertipu, sehingga ia termasuk dalam kesalahan”.( I Timotius 2 : 4 ).

Inilah tuduhan abadi Injil terhadap perempuan. Bukankah mereka berdua sama-sama memakan buah terlarang itu? Padahal menurut al-Qur’an keduanya sama-sama bersalah, kemudian tobat dan diampuni oleh Allah.

2. “Adapun perempuan itu belajar dengan senyapnya dan bersungguh-sungguh merendahkan dirinya, tetapi Aku tidak mengijinkan seorang perempuan mengajar dan memerintah atas laki-laki, melainkan hendaklah ia berdiam diri “.( I Timotius 2: 11-12 )

Masih adakah orang Kristen yang mau melaksanakan perintah Injil tersebut? Coba bayangkan kalau sekiranya orang-orang Kristen benar-benar melaksanakan dogma itu, tentu wanita Kristen itu akan sangat terbelakang. Benarlah kata orang Barat yang mengatakan Kristen maju karena meninggalkan ajaran Injilnya, sedang Islam mundur karena tidak melaksanakan ajaran al-Qur’an.

3. “…demikianpun hendaknya segala istri tunduk kepada suaminya dalam tiap-tiap perkara”.( I Ep. Esus 22-24 ).

Benarkah seorang istri harus mengikuti segala perintah suaminya, walaupun dalam hal kejahatan? Silakan renungkan sendiri.

4. “Tidaklah laki-laki itu diciptakan untuk perempuan tetapi perempuan itulah yang diciptakan untuk laki-laki “.( Injil Korintus 11:9 ).

Inilah biang tidak adanya kesetaraan gender itu. Bukankah laki-laki dan perempuan sama-sama membutuhkan?

5. “Keluaran 21:7. Anda akan mendapat informasi bahwa seorang laki-laki dapat menjual anak perempuannya” .

Apakah anda sekalian sebagai orang Kristen akan sependapat dengan dogma al-Kitab tersebut ?

6. Injil ulangan 25: 11-12 yang memerintahkan kita untuk memotong tangan perempuan yang menolong suaminya.

Akankah kita melaksanakannya?

7. Bukankah seorang wanita tidak boleh berbicara atau mengeluarkan kata-kata dalam pertemuan jemaat? Bukankah hal itu merupakan ketidaksopanan? Demikianlah kata Injil 1 Korintus 14 : 34-35. Tapi apakah Injil 1 Korintus 14: 34-35 itu masih punya kekuatan hukum? Bukankah orang-orang yang mengaku fanatik al-Kitab dengan enteng sekali melanggar larangan al-Kitab sendiri? Berapa banyak penginjil, pengkhotbah dan evangelis perempuan saat ini? Di luar hitungan jari. Bukankah mereka selalu melanggar al-Kitab tanpa menyadarinya? Bukankah para dombanya juga ikut andil dalam melanggar al-Kitab?

8. (Tambahan) Perempuan tidak boleh bekerja (kalau tidak salah dalam Matius ).

Bukankah pemimpin seorang perempuan adalah seorang laki-laki? Tapi mengapa para pengikut setia al-Kitab suka sekali memilih pemimpinnya seorang perempuan. Bukankah al-Kitab menegaskan dalam Injil Korintus 11 : 3 bahwa pemimpin perempuan adalah laki-laki?

Itulah ayat-ayat al-Kitab yang menyebabkan wanita terhina dan terkutuk di dunia Barat selama berabad-abad. Mari kita dengar komentar para cendekiawan Barat:

Grigory The Great berkata,”Perempuan itu mempunyai bisa seperti jelatang jahat, seperti singa”. Bernhard berkata,“Perempuan itu anggota dari syetan”. Jerome dan Tartahan berkata,“Perempuan itu pintu gerbang syetan”. Paus Jeraum mengatakan,“Perempuan itu pokok kejahatan dan sumber perdayaan”.

Marthin Luther pendiri Mazhab Protestan berpesan agar menjauhkan perempuan dari tempat pelajaran, sebab tidak ada gunanya mendidik perempuan. Akhirnya Paus Cregorius VII memberi keputusan,“Para padri Kristen dilarang keras beristri, karena meraba tubuh perempan itu najis”.

Wanita dalam Pandangan Yahudi[2]

Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang membuat Adam terusir dari Surga.

Dalam pandangan pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang membicarakan apakah wanita mempunyai ruh atau tidak, akhirnya disimpulkan bahwa wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi diselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau tidak. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805 Undang-Undang Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum juga memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan.

Ketika Elizabeth Blackwill, dokter wanita pertama di dunia, menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849, teman-temannya yang satu tempat tinggal dengannya melakukan pemboikotan dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika dokter Elizabeth bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam akan memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.

Demikian selayang pandang kedudukan wanita dalam al-Kitab dan pandangan penganut agama Yahudi dan Nasrani. Di sisi lain, sedikit atau banyak pandangan demikian juga mempengaruhi pemahaman sebagian pakar umat Islam terhadap redaksi petunjuk–petunjuk al-Qur’an sebagaimana akan disinggung berikut ini.

Asal Penciptaan Perempuan dalam Pandangan Islam

Berbicara mengenai kedudukan wanita dalam Islam, mengantarkan kita untuk terlebih dahulu melihat pandangan al-Qur’an tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah:

“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa”. (Al-Hujurat ayat 13)

Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah swt. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan al-Qur’an mempunyai kedudukan terhormat.

Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syeikh al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat al-Islam bahwa:

“Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu hukum-hukum syariat pun meletakan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan”.[3]

Ayat al-Qur’an yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1 :

“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama). Dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, al-Biqa’i, Abu as-Su’ud, dan lain-lain. Bahkan at-Tabarsi (abad ke-6 Hijriah) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.

Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad Abduh, dalam tafsir al-Manar, tidak berpendapat demikian, begitu juga rekannya al-Qosimi, mereka memahami arti nafs dalam arti “jenis”. Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis tim penerjemah al-Qur’an Depertemen Agama R.I, adalah sebagai pendapat mayoritas ulama.

Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah (pasangannya) mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa. Karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan mengatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, tanpa laki-laki perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu wanita bersifat auja (bengkok atau tidak lurus).

Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian. Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang mengatakan: “Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok”. (H.R at-Tirmidzi dari Abu Hurairah ).

Hadis di atas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah namun beberapa ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan (kebenaran) hadis tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis di atas memperingatkan para laki-laki agar menghadapai perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki. Bila tidak disadari akan mengantarkan kaum laki-laki bersikap tidak wajar, mereka juga tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalau pun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Ide ini, seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manarnya, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkan pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat oleh Tuhan seorang perempuan.

“Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab perjanjian lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim”. [4]

Alamah Thabathaba’i (ra) dalam tafsirnya al-Mizan menulis, bahwa ayat di atas menegaskan bahwa:

“Perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kita dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari ayat al-Qur’an yang dapat mengantarkan kita untuk mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki”.[5]

Bahkan kita dapat berkata bahwa banyak teks keagamaan mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat al-Isra’ ayat 70,

“Sesungguhnya kami telah memuliakan anak–anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan “.

Tentu kalimat anak-anak Adam mencakup laki-laki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan itu mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun laki-laki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat al-Imran ayat 195 yang menyatakan :”Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain.”.

Ini juga berarti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis laki-laki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kalimat ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaaan di antara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.

Menstrual Taboo[6] dan Perspektif Gender dalam Islam

Di antara kutukan terhadap perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut di berbagai belahan bumi. Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh wanita yang sedang menstruasi. Prilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani, dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.

Darah menstruasi dianggap darah tabu dan perempuan yang sedang menstruasi, menurut kepercayaan agama Yahudi, harus hidup dalam gubuk khusus atau mengasingkan diri dalam goa-goa, tidak boleh bercampur dengan keluarga, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis makanan tertentu. Yang lebih penting ialah tatapan mata dari mata wanita sedang menstruasi yang biasa disebut dengan “mata iblis”, harus diwaspadai karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.

Perempuan harus mengenakan identitas diri sebagai isyarat tanda bahaya manakala sedang menstruasi, supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo.[7]

Adapun kata kosmetik berasal dari bahasa Greek, cosmetikos yang arti dan konotasinya berhubungan erat dengan kata cosmos yaitu perihal keteraturan bumi. Istilah kosmetik yang sekarang ini dipakai untuk alat kecantikan wanita, lebih dekat kepada kata cosmetikos itu, yang berarti sesuatu yang harus diletakkan pada anggota tubuh wanita untuk menjaga terpeliharanya keutuhan lingkungan alam.[8]

Dari sinilah asal usul penggunaan kosmetik yang semula hanya diperuntukkan kepada perempuan yang sedang menstruasi. Barang-barang perhiasan seperti cincin, gelang, kalung, giwang, anting-anting, sandal, lipstik, shadow, celak termasuk cadar/jilbab ternyata adalah Menstrual Creations.[9]

Kalangan antropolog berpendapat menstrual taboo inilah yang menjadi asal usul penggunaan kerudung atau cadar atau semacamnya, bukan seperti yang dikenalkan oleh agama Islam melalui ayat-ayat jilbab dan hadis-hadis tentang aurat.

Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan dalam agama Yahudi dan selanjutnya dalam Kristen. Dua agama besar sebelum Islam ini telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Yang jelas tradisi penggunaan kerudung, jilbab dan cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan. Islam men-ta’yid-kannya dalam rangka menyempurnakan cara penutupan atau hijab syar’i perempuan Islam. Diskursus mengenai jilbab dalam agama Yahudi pernah lebih seru daripada yang belum lama ini diributkan dalam dunia Islam. Dalam agama Yahudi pernah ditetapkan bahwa membuka jilbab dianggap sebagai suatu pelanggaran yang dapat berakibat jatuhnya talak karena hal tersebut dianggap suatu ketidaksetiaan terhadap suami (… the women going aut in public places with uncovered constituted legitimate cause for divorce…).

Asal-usul penggunaan cadar atau kerudung dan berbagai macam kosmetik lainnya, menurut kalangan antropolog, berawal dari mitos menstrual taboo, yaitu untuk mencegah si “mata iblis” dalam melakukan aksinya.

Penggunaan cadar/kerudung pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstrual. Kerudung dan semacamnya juga bertujuan untuk menutupi mata dari cahaya matahari dan sinar bulan, karena hal-hal itu dianggap tabu dan dapat menimbulkan bencana di dalam masyarakat dan lingkungan alam.

Kerudung dan semacamnya juga dimaksudkan sebagai pengganti gubuk pengasingan bagi keluarga raja atau bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu lagi mengasingkan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non bangsawan.

Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan menstrual huts menjadi cadar juga dilakukan di New Guinea, British, Colombia, Asia dan Afrika bagian tengah, Amerika bagian tengah dan lain-lain, bentuk dan bahan cadar juga berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain.

Selain menggunakan cadar wanita haid juga menggunakan cat pewarna hitam (cilla’) di daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan matanya. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dari bahan-bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik dan bahan dari tengkorak kapala manusia.

Haid dalam Islam

Istilah menstruasi dalam literatur Islam disebut haid. Kata haid adalah istilah khusus dalam al-Qur’an yang tidak ditemukan dalam teks Taurat dan Injil. Dalam Munjid fi al-Lughah kata haid, tanpa menjelaskan asal-usul dan padanannya, dari kata hâdha-haydhan yang diartikan dengan darah yang keluar dari rahim wanita dalam waktu dan jenis tertentu.[10]

Dalam al-Qur’an ia hanya disebutkan sekali dalam bentuk fi’il mudhori’/present and future (yahidh) dan tiga kali dalam bentuk isim masdhar (al-Mahidh), yaitu di dalam surat at-Thalak ayat 4 dan al-Baqarah ayat 222.

Dari segi penamaannya, kata haid sudah lepas dari konotasi teologis seperti dalam agama-agama dan kepercayaan sebelumnya. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 222 menjelaskan masalah haid sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah: Haid adalah kotoran, oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci: apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” .

Sebab turunnya ayat itu dijelaskan dalam hadis riwayat Ahmad dari Anas, bahwa salah seorang sahabat menanyakan kepada Nabi perihal perempuan Yahudi yang apabila sedang haid, masakannya tidak dimakan dan ia tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Nabi diam sebentar dan turunlah ayat tersebut. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda: “Lakukanlah segala sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh”. Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, akibatnya orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu, tiba-tiba dianggap sebagai hal yang alami.

Rasulullah saww dalam banyak kesempatan menegaskan kebolehan melakukan kontak sosial dengan wanita haid.”Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj)”. Rasulullah dalam riwayat lain bersabda: “Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jima’ )”. Bahkan Rasul seringkali mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktek. Riwayat lain yang disampaikan A’isyah, antara lain A’isyah pernah minum dalam satu bejana yang sama dengan Rasulullah sedang ia dalam keadaan haid. Ia juga pernah menceritakan Rasul melakukan segala sesuatu selain bersetubuh (jima’) sementara dirinya dalam keadaan haid, Rasul juga sama sekali tidak memperlihatkan perlakuan taboo terhadap darah haid dan bekasnya yang ada di pakaian A’isyah. [11]

Demikian beberapa cuplikan masalah perempuan yang sempat dimuat dalam tulisan ini yang dianggap kontroversi dalam ketiga agama besar dunia tersebut. Tetapi pandangan terbaik yang menempatkan perempuan pada posisinya dan menghargai nilai kemanusiaannya, dapat kita lihat dari apa yang diutarakan secara gamblang oleh agama Islam. Tentu saja setelah mengadakan pengkajian, mengingat informasi Islam sejak berangkat dari sumber aslinya, telah melintasi perjalanan panjang sejarah sehingga ketika sampai ke tangan kita nilai keasliannya mungkin saja telah terbungkus berbagai pengaruh teologi lain dan pandangan metafora umat.[]

——————————————————————————–

[1] Re: wanita dalam pandangan Al-kitab.htm, posted by Neta on October 24, 2001.

[2] Koleksi Diskusi Internet Desember ‘97, Quraish Shihab Perempuan (1 – 4 ).htm.

[3] Syaltut, Muhammad, Min Tawjihat al-Islam.

[4] Ridha, Rasyid, Tafsir Al-Manar, IV : 330.

[5] Thabataba’i, Muhammad Husein, Tafsir Mizan.

[6] Menstrual Taboo, Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. HTML Document.

[7] Thomas Buckley.

[8] Judi Grahn, Blood, Bread and Roses.

[9] Ibid, hal: 89-95.

[10] Lonis Ma’luf, al-Munjid, Beirut.

[11] Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz I, hal. 258.