Peran penciptaan yang diberikan pada perempuan tidaklah
terjadi tanpa alasan. Kapasitasnya untuk menjadi
pencipta dapat dilihat dari alat biologis, kondisi
fisik, dan afeksi yang dimiliki. Untuk menjadi ibu,
perempuan dibekali karakter emosi, mental, dan perasaan
yang menenangkan dan menyamankan spiritualitas. Tak ada
sekolah kasih sayang seluas hati yang dimiliki seorang
ibu.
Perempuan terlahir dengan tiga kedudukan, sebagai
seorang anak, istri, dan ibu. Fase sebagai seorang anak
merupakan fase penanaman karakteristik sifat dan
akhlak. Jika anak diibaratkan sebagai sebuah biji, maka
ia akan tumbuh membawa gen induknya (orang tua),
khususnya ibu, yang sembilan bulan lebih dulu
mendidiknya di dalam rahim. Fase ini memegang peran
penting sebagai bekal perjalanan menjadi seorang istri
dan ibu.
Sebuah ungkapan mengatakan, “Masyarakat merupakan hasil
rajutan para ibu”. Di tangan para ibulah para alim
ulama terlahir. Ibu yang cerdas tentu akan melahirkan
anak yang mampu membawa perubahan dalam masyarakat.
Seorang calon ibu yang baik terdidik oleh ibu yang baik
pula. Kendati pun, peran ibu sejatinya merupakan peran
sosial.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memiliki
anak perempuan, lalu ia mendidik dan membinanya secara
baik, dan memberinya makanan dari apa yang diberikan
Allah kepadanya, maka ia (si anak) akan menjadi
pelindungnya dari neraka dan akan menghantarkannya
menuju surga”.
Fakta statistik membuktikan, bahwa jumlah anak
perempuan yang terlahir lebih banyak dari anak laki-
laki. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah
kekuatan berada di tangan perempuan. Pengabaian akan
pendidikan dan pembinaannya berarti menempatkan
setengah dari kekuatan tersebut dalam bahaya.
Rosseau, seorang filosof Perancis berkata, “Seorang
anak dibina sesuka hati ibunya; jika Anda hendak
menjadikan anak tersebut mulia dan terhormat, maka Anda
terlebih dahulu harus mendidik dan membina ibunya”.
Anak perempuan hari ini merupakan calon istri dan ibu
di masa akan datang. Sehingga, sudah sepatutnyalah para
orang tua, khususnya ibu sebagai role model bagi anak
perempuannya, untuk membekali perjalanan mereka di masa
akan datang. Bekal yang bersumber dari ibu tentu akan
lebih menentukan arah perjalanan sang anak dibanding
bekal dari ayah. Anak perempuan yang tumbuh dalam
balutan akhlak mulia ibu, kelak akan menjadi seorang
perempuan pendidik yang terdidik.
Setidaknya ada tiga bekal bagi perempuan pendidik di
masa depan. Dimulai dari pengetahuan bagaimana
mengenali dirinya sebagai entitas yang berbeda dengan
laki-laki. Dengan begitu mereka akan mampu menjaga dan
menghargai diri dan kehormatannya. Kedua, seorang anak
perempuan harus dibekali pengetahuan akan keamanan,
kesehatan, dan tanggung jawabnya dalam mengasuh bayi
dalam kandungan. Hal ini sangat penting karena
merupakan awal bagi keberlangsungan kehidupan sang bayi
sebelum terlahir. Dan yang terakhir, bekal sebagai ibu
sebagai madrasah ruhaniah pertama seorang manusia.