Perintah Wajibnya Berjilbab (Bagian 2)
  • Judul: Perintah Wajibnya Berjilbab (Bagian 2)
  • sang penulis: Haryati
  • Sumber: hpiiran.com
  • Tanggal Rilis: 17:42:38 1-9-1403

Arti kata Jilbab

Menurut sebagian para mufassir tentang jilbab adalah, Pertama kerudung Panjang yang menutupi kepala (Rambut) dan Dada. Kedua Jilbab (kerudung biasa). Ketiga baju yang besar.  Dan dalam ensiklopedia Lisanul Arab jilbab adalah pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung) berbeda dengan selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya.

Dalil Wajibnya Jilbab

“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya.” (QS. An-Nur: 31)

Ayat di atas menunjukkan sebuah hukum yang diberikan kepada kaum perempuan mukmin.

Lam dalam kata وَلۡیَضۡرِبۡنَ adalah Lam ‘amr (yang menunjukkan perintah). Kalau kita melihat terjemahannya versi Depag RI, ini diartikan sebagai sebuah anjuran saja dari Allah Swt. (hendaklah) untuk mengenakan jilbab, tapi dalam Ushul Fiqih sebagaimana yang dijabarkan dibuku Syeikh Baqir Irwani, ada 3 dalil kata ‘amr (Perintah) menunjukkan sebuah kata wajib;

1. Dalam Ayat Quran,  

“Maka Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)

Analisa;

1. Jika Kata ‘amr (perintah) disamakan dengan Mustahab, maka secara otomatis apabila  mukallaf (orang yang diberi tanggung jawab atas pelaksanaan syariat agama)  melanggar perintah hukum mustahab, akan mendapat ganjaran/ancaman azab.

2. Melanggar perintah hukum Mustahab, tidak memiliki ganjaran azab. Oleh karena itu, seharusnya dalam ayat perintah, memiliki syarat jika hendak menyimpulkan bahwa itu perintah yang tidak wajib melainkan sekedar mustahab saja.

3. Ayat 63 surah An Nur diatas menunjukkan kemutlakan dalam perintah wajib.

Sehingga kesimpulannya adalah kata ‘amr (Perintah) dengan sendirinya menunjukkan perintah wajib.

2. Hadist Nabi

“Kalau sekiranya tidak memberatkan umatku, saya akan memerintahkan untuk bersiwak.” (Hadi Nabi Muahammad).

Analisis;

1. Jika kata ‘amr (perintah) maksudnya sama dengan hukum mustahab, maka serta merta hukum mustahab ini mengandung kesulitan atau memberatkan kepada Mukallaf.

2. Hukum mustahab tidak memiliki kesulitan sehingga seharusnya di samping kata لأمرتهم ada syarat wajib tertera.

3. Dalam hadits Nabi di atas tidak menunjukkan adanya syarat wajib yang menunjukkan wajib akan tetapi kemutlakan.

Kesimpulannya, kata ‘amr (perintah) dengan sendirinya menunjukkan dalil wajibnya sebuah hukum.

3. Dan Tabadur (Pengertian yang terlintas dalam pikiran).

Dengan mendengarkan kata ‘amr (perintah) dalam kata وَلۡیَضۡرِبۡنَ , Lam ‘amr,  secara otomatis terlintas dalam benak dan muncul kata wajib. Kata “wajib” adalah makna hakiki kata ‘amr itu sendiri, bukan makna majazi (atau pergesaran makna). Jadi, dari sini kita menyimpulkan bahwa kata wajib dalam kata ‘amr (perintah) di sini adalah makna Hakiki (makna sesungguhnya).

Dari ketiga dalil diatas menunjukkan alasan logis dalam membuktikan bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah SWT mengenai jilbab, adalah sebuah hukum dan perintah wajib.

Turunnya Surah An Nur ayat 30-31ini berkenaan dengan kehidupan di zaman jahiliyah, di mana perempuan zaman jahiliyah saat itu memakai pakaian yang tidak menutup leher dan dada. Oleh karena itu, Allah berfirman “Dan tutuplah leher kalian dengan kerudung kalian”

Ibn Abbas ra, dalam menafsirkan ayat ini mengatakan  bahwa “Wanita hendaknya menutupi rambut, leher dan bawah dagu mereka”

Allamah Tabhatabhai dalam tafsir al-Mizan jilid 15 ayat 112 mengatakan bahwa “Harus mengulurkan Jilbab ke seluruh dada sampai menutupnya”

Ayat lain yang berkenaan dengan syariat Hijab adalah Surah al Azhab ayat 59

“Wahai Nabi! Katakan Kepada Istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan keseluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”  (Al-Ahzab: 59)

Ali bin Ibrahim al Qomi menafsirkan turunnya ayat ini dengan mengatakan bahwa,

“Pada saat itu kaum wanita pergi ke masjid dan shalat di belakang Rasulullah saw. Saat mereka menuju masjid untuk menunaikan Shalat Magrib atau Isya para remaja nakal yang duduk dipinggil jalan, mengejek atau mengolok-olok mereka. Lalu turunlah ayat ini yang memerintakan mereka memakai jilbab yang sempurna supaya mereka dikenali seutuhnya dan tidak ada alasan lagi untuk mengolok-olok mereka.”

Falsafah Turunnya Perintah Jilbab

Jilbab atau istilah baru zaman now “hijab” itu tidak ada hubungan atau kaitannya dengan baik tidaknya seorang perempuan tampil di tengah-tengah masyarakat dalam keadaan tertutup atau Terbuka.

Melainkan inti pembahasannya adalah

1. Apakah Perempuan harus dinikmati oleh laki-laki secara bebas dan gratis?

2. Apakah laki-laki memiliki hak untuk memuaskan nafsunya untuk memenuhi kebutuhan berahinya dengan setiap perempuan dan di tempat yang berbeda?

Islam menjawab dengan Tegas; TIDAK

1. Pria hanya boleh memuaskan hasrat seksualnya  dengan istri sahnya yang melalui pernikahan yang sah.
    
2. Laki-laki dilarang melakukan hubungan fisik dengan cara apa saja dengan perempuan siapa saja selain istri sahnya.

Lalu apa yang harus dilakukan kaum perempuan?

1. Haruskah keluar rumah dalam keadaan tertutup atau terbuka?
2. Apakah perempuan harus bebas atau terpenjara dalam Jilbab?
3. Apakah laki-laki bebas mengambil manfaat seksual dari diri perempuan dengan cara apa saja yang mereka suka?

Kalua pernyataan ketiga disepakati tentu akan ditarik kesimpulan bahwa sebagian laki-laki lebih banyak mengambil manfaat daripada perempuan. Seperti yang dikatakan Will Durrant “Rok mini merupakan berkah bagi setiap orang di dunia kecuali pedagang kain”

Jadi, inti  pertanyaan tersebut adalah, apakah pemenuhan kebutuhan seksual harus dibatasi pada lingkungan keluarga (istri sah) atau bebas dalam mencari pemenuhan kebutuhan seksual di tengah masyarakat atau kebebasan seksual ini diperkenalkan ditengah-tengah masyarakat?

Islam menjawab, membatasi hasrat seksual kepada istri sah saja sebuah kemutlakan, karena Islam juga memandang akan pentingnya jalur ini yaitu membantu mempertahankan kesehatan mental masyarakat, memperkuat hubungan suami istri dan membantu harmonisasi sempurna antara suami dan istri. Dari lingkup wilayah masyarakat, tentu akan menjaga dan memelihara energi yang kemudian dapat dimanfaatkan dalam aktivitas sosial.

Jadi tujuan Islam membatasi segala jenis kenikmatan seksual hanya pada istri sah dan sebaliknya di dalam ikatan pernikahan, agar masyarakat hanya sebagai tempat kerja dan pengembangan kreativitas manusia, dan ini bertolak belakang dengan kehidupan dan pemahaman yang ada di dunia Barat yang semuanya dicampuradukkan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa Islam hanya memerintahkan menutup aurat ini kepada kaum perempuan saja? Itu dikarenakan perempuan memiliki sifat khusus dalam diri, yaitu nafsu pamer dan mempertontonkan diri.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ayat perintah berjilbab adalah sebuah hukum wajib yang harus dijalankan kaum perempuan mukmin karena Tuhan menciptakan hukum memiliki hikmah dan tidak ada sama sekali dari ciptaannya memiliki kesia-siaan. Dan kita bisa liat bersama manfaat jilbab di antaranya adalah menenangkan jiwa, memperkuat akar keluarga  dan membuat masyarakat lebih produktif.

Masyarakat yang perempuannya tidak mengenakan jilbab, laki-laki bisa memandangnya secara bebas perempuan yang diinginkan dan istri sah secara psikologis dipandang sebagai pesaing. Pemuda-pemuda tentu akan selalu menunda pernikahan karna masih ingin menikmati kebebasan dan pergaulan bebas. Kita bisa lihat, di negara-negara yang minim penerapan penggunaan jilbab, maka penghormatan terhadap lembaga pernikahan juga minim. Hal itu disebabkan, laki-laki bisa mendapatkan kenikmatan seksual yang mereka butuhkan diluar pernikahan.

Dengan tidak adanya jilbab juga, lahir pergaulan bebas di antara masyarakat yang akan merusak kekuatan sosial, menyebabkan pula kerugian terhadap perempuan dan memenjarakan bakat-bakat kaum perempuan. []

Sumber Rujukan:

1. Teologi dan Falsafah Hijab, Murtadha Mutahari
2. Buku Pelajar Ushul Fiqih, Al Shaikh Baqir Al Iravani
3. Lisanul ‘Arab, Ibnu Manzhur, 1: 272.
4. Hijab dalam pandangan Quran dan Sunnah, Fathiyeh Fattohi Zadeh
5. Tafsir al Mizan, Allamah Tabhatabhai
6. Tafsir Ali bin Ibrahim al Qommi cetakan ke 4, Ali bin Ibrahim Qumi