Menilai Keadilan Sahabat Dengan Standar Defenisi Ibn Hajar al-Asqalani
  • Judul: Menilai Keadilan Sahabat Dengan Standar Defenisi Ibn Hajar al-Asqalani
  • sang penulis: muhamad alfadani
  • Sumber: muslimmenjawab.com
  • Tanggal Rilis: 2:5:29 23-8-1403

Tema pembahasan Tulisan kali ini sebagaimana seri-seri sebelumnya masih seputar keadilan sahabat, tepatnya mengkritisi keyakinan akan keadilan seluruh sahabat dengan standar defenisi yang telah dipaparkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani; di mana dalam satu pernyataannya disebutkan bahwa: “adil adalah orang yang memiliki jati diri (malakah) untuk selalu menjaga ketakwaan dan harga diri. dan menjaga takwa adalah menjauhi perbuatan yang buruk seperti syirik, kefasikan dan bidah.[1]”

Dan yang ingin disorot secara khusus pada tulisan ini adalah tentang menjauhi bidah. Di mana menjauhi bidah disebutkan sebagai syarat takwa dan pada gilirannya takwa merupkan syarat keadilan.

Berangkat dari defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian sahabat telah keluar dari keadilan. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitabnya bahwa sebagian sahabat melakukan perbuatan bidah:

“dari Anas dari Nabi SAWW, beliau bersabda: segolongan dari sahabatku mendatangiku di dekat telaga. Ketika telah aku kenali, mereka dihalangi dariku. Aku berkata: mereka adalah para sahabatku. Maka dijawab: engkau tidak tahu bidah yang telah mereka lakukan setelahmu.”[2]

Mengamini apa yang tertera dalam riwayat ini Barra bin Azib juga mengakui bahwa sahabat telah melakukan perbutan bidah:

“dari Ala bin Musayyab dari ayahnya, ia berkata: aku menjumpai Barra’ bin Azib RA, lalu aku berkta: alangkah beruntungnya engkau, engkau bersahabat dengan Rasulullah SAWW dan melakukan baiat di bawah pohon (baiaturridwan). Ia berkata: wahai anak saudaraku! Engkau tidak tahu bidah yang telah kami perbuat setelahnya.[3]

Berpijak pada defenisi yang telah disebutkan oleh Ibn Hajar tentang keadilan dan dua riwayat yang telah disebutkan tentang perbuatan  bidah yang telah dilakukan sahabat, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua sahabat Nabi SAWW memiliki sifat adil sebagaimana diyakini oleh kalangan Ahlussunnah.

Namun perlu digaris bawahi bahwa sanggahan terhadap keadilan sahabat bukan berarti menolak kedilan seluruh sahabat, akan tetapi hanya menolak keadilan sebagian dari mereka.  Singkatnya meyakini bahwa sebagian sahabat adil dan sebagian lainnya tidak demikian

Dan perlu diingat juga bahwa, membahas tema ini tidak berbeda dengan membahas keadilan rawi pada generasi tabiin dan sesudahnya. Mengingat bahwa hal ini bertujuan untuk menyaring ajaran agama agar diperoleh dari sumber yang autentik dan valid maka tujuan yang sama juga ada pada pembahasan keadilan sahabat.

[1] Ibn Hajar al-Asqallani, Ahmad bin Ali bin Muhammad, Nuzhatun Nadhar Fi Taudhih Nukhbatil Fikr, hal: 67.

[2] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 4, hal: 206, cet: al-Maktabah al-Salafiah, Qairo.

[3] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 3, hal: 130, cet: al-Maktabah al-Salafiah, Qairo.