Pada seri-seri sebelumnya telah dibahas seputar dalil-dalil keadilan sahabat dan sanggahannya. Melanjutkan ulasan yang sama pada seri kali ini akan dipaparkan dalil lainnya yang tentu saja dijadikan oleh Ahlussunnah sebagai pegangan dalam membangun konsep keadilan sahabat.
Dalil yang dimaksud adalah ayat yang berbunyi:
لَقَدْ رَضِيَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنينَ إِذْ يُبايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ ما في قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكينَةَ عَلَيْهِمْ وَ أَثابَهُمْ فَتْحاً قَريباً
Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui keimanan dan kejujuran yang ada dalam hati mereka. Oleh karena itu, Dia menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) (al-Fth/ 18)
Dengan berdasarkan ayat ini Ahlussunnah berkeyakinan bahwa semua sahabat adalah adil sebab Allah SWT telah meridhai mereka, dan barang siapa telah mendapat ridha Allah SWT maka tidak akan mendapatkan murkaNya untuk selamalamanya. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang di dalam kitab al-Isti’ab[1]
Untuk melihat sejauh mana kebenaran argumentasi di atas, tentu saja perlu dilakukan pengkajian lebih dalam. Uoleh karena itu alangkah baiknya untuk melihat beberapa sanggahan di bawah ini:
Yang pertama, sahabat yang ikut di dalam baiat Ridwan tersebut hanya sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Oleh karena itu menggunakan ayat tersebut untuk menjustifiksi keadilan seluruh sahabat tidak dapat diterima dan cacat secara logika.
Yang kedua ada riwayat yang menunjukkan bahwa Umar bin Khattab yang merupakan orang yang hadir dalam peristiwa tersebut, melakukan sebuah tindakan yang yang bertentangan dengan konsep keadilan. Sebab beliau meragukan kebenaran tindakan nabi Muhammad SAWW yang melakukan perjanjian dengan kaum musyrikin, bahkan melakukan protes terhadap Nabi SAWW.
“….Abu wail membacakan hadits kepadaku, ia berkata: kami sedang berada di Shiffin, lalu Sahl bin Hunaif berdiri seraya berkata: wahai manusia! Curigailah diri kalian. Karena sesungguhnya kami bersama Rasulullah pada saat di Hudaibiah, jika kami menyaksikan peperangan maka kami akan berperang. Lalu datang Umar bin Khattab dan berkata: wahai Rasulullah. Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebatilan? Beliau menjawab: ya. Ia berkata: bukankah yang terbunuh diantara kita berada di surga sedang yang terbunuh di antara mereka di neraka? Beliau menjawab: ya. Ia berkata: lantas mengapa kita memberikan kehinaan terhadap agama kita? Apakah kita kembali sementara Allah SWT belum memberikan keputusan diantara kita dan mereka? Beliau bersabda: wahai putra Khattab. Aku adalah utusan Allah oleh karena itu Ia tidak akan melupakanku (menyia-nyaikanku) selama-lamanya. Lalu Umar kembali dalam keadaan marah dan tidak sabar sampai ia mendatangi Abu Bakar lalu ia mengatakan: bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebatilan? . Lalu Abu Bakar berkata. Beliau adalah utusan Allah SWT oleh karena itu Ia tidak akan membiarkannya. lalu turunlah surat al-Fath.[2]
Lebih jauh kita lihat bahwa Umar bin Khattab dalam riwayat diatas meninggalkan nabi dalam keadaan marah karena tidak sepakat dengan keputusan yang diambil oleh beliau.
Padahal al-Quran dengan jelas mengatakan bahwa semua tindakan Nabi merupakan wahyu dan kaum muslimin wajib mengikuti apa yang dibawa olehnya dan meninggalkan apa yang dilarang beliau.
“dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (An-Najm/ 3-4)”
“Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (al-Hasyr/ 7)
Dan sanggahan ketiga adalah riwayat yang menyatakan bahwa Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh kelompok yang zalim:
“ dari Ikrimah……dan Nabi bersabda: Ammar akan dibunuh oleh kelompok atau golongan yang zalim. Ia mengajak mereka ke surga sementara mereka mengajaknya ke neraka.[3]”
Dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa golongan yang memerangi Ammar dan yang membunuhnya adalah sebagian dari sahabat Nabi Muahammad SAWW.
Dari beberapa sanggahan di atas dapat dipahami bahwa menjadikan ayat di atas sebagai landasan untuk membuktikan keadilan seluruh sahabat adalah usaha yang sia-sia. Karena dalil yang diajukan tidak mampu membuktikan hal tersebut.
[1] Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab Juz 1 Hal. 4 Cet. Darul Jamil – Beirut
[2] Bukhari, Muhammad bin Ismail, al-Jami’ al-Shahih, jil: 3, hal: 294-295cet: al-Maktabah al-Salafiah, Qairo.
[3] Al-Aini, Mahmud bin Ahmad, Umdat al-Qari, jil: 14, hal: 109, Dar al-Fikr.