Pernikahan merupakan sebuah ikatan suci antara seorang laki-laki dan perempuan. Sebelum memutuskan untuk hidup bersama melalui ikatan suci tersebut, mereka saling mengenal terlebih dahulu dan ada ketertarikan di antara keduanya. Seseorang memutuskan memilih calon pasangan hidupnya, karena menurutnya terdapat berbagai kriteria yang dimiliki oleh calonnya bisa diajak hidup bersama dalam mengarungi kehidupan berumah tangga.
Setiap orang pasti berharap bisa mendapatkan pasangan ideal yang didambakannya. Harapan untuk tersebut merupakan ‘fitrah’ manusia, fitrah akan cinta pada kesempurnaan. Manusia mencintai kesempurnaan, karena itu berharap mendapatkan pasangan yang sempurna juga. Hanya saja, karena terdapat perbedaan dalam memandang kesempurnaan -tergantung backgraound pandangannya terhadap dunia dan tujuan hidup- maka dalam memandang kesempurnaan pun akan berbeda pula. Saat tolok ukur kesempurnaan itu berbeda, maka tolok ukur pasangan ideal pun akan berbeda juga.
Pasangan yang ideal dalam kaca mata sebagian orang ialah seseorang yang sempurna dari sisi lahiriyah seperti tampan atau cantik, kaya, sarjana, keturunan pejabat atau ningrat, bodinya atletis bagi lelaki dan langsing bagi perempuan. Namun, dalam kaca mata sebagian orang, tolok ukur pasangan ideal bukan pada sisi lahiriyah saja.
Bahkan, sisi lahiriyah hanya dijadikan sebagai hal sekunder. Yang menjadi ukuran utamanya ialah kepribadiannya, seperti baik hati, penyayang, lemah lembut, pekerja keras, bertanggungjawab, perhatian dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saww menjelaskan bahwa seseorang itu akan memilih pasangan hidup karena kecantikan atau ketampanan, nasab keturunan, harta dan karena agamanya. Di akhir ucapannnya beliau mengatakan barang siapa yang memilih pasangan hidup karena agamanya, maka berbahagialah ia.
Dalam riwayat lain, Rasulullah saww juga menjelaskan tentang masalah agama dan prilaku calon istri yang ideal bagi seorang laki-laki, “Barangsiapa yang menikahi seorang perempuan karena kecantikannya, maka ia tidak akan melihat padanya melainkan apa yang telah ia inginkan. Dan barangsiapa yang menikahi pertempuan karena hartanya, maka ia tidak akan mendapatkan yang lainnya melainkan hanya yang diinginkannya. Maka hendaknya kalian menikahi seseorang karena agamanya.” (Muntakhab Mizan al-Hikmah halaman 252)
Jika seseorang menikah hanya karena tujuan kecantikan atau ketampanan, maka hanya untuk beberapa saat saja ia menikimati kecantikan dan ketampanan pasangannya. Karena setelah itu, disebabkan senantiasa bersamaan, maka kecantikan dan ketampanan yang sangat memukainya, tidak akan seperti saat awal pertemuan mereka. Keelokan pasangannya akan dirasakan biasa saja. Mungkin saja, sebagian merasakan adanya rasa bosan.
Yang menjadi pertanyaan, dapatkah seseorang mendapatkan pasangan hidup yang ideal, sempurna tanpa memiliki kekurang sedikitpun? Karena sebelum menikah, yang tampak ialah kebaikan dan kelebihannya saja. Kekurangan seseorang akan tampak ketika dia sudah memasuki hidup bersama dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Karena itu, dalam hal ini ulama akhlak kontemporer Ayatullah Mudhohiri dalam buku Akhlak dar Khaneh (Akhlak Rumah Tangga) mengatakan bahwa tidak mungkin seseorang dapat menemukan pasangan yang seratus persen merupakan idamannya. Tujuh puluh persen saja sesuai yang kita harapkan itu sudah sangat bagus.
Dalam riwayat lain Rasulullah saww juga telah mensyaratkan tentang ‘sepadan’ (sekufu) dalam memilih pasangan hidup. Walaupun pengertian sepadan memiliki pengertian yang luas, bisa mencakup masalah status sosial, ekonomi, pemikiran, status keilmuan, agama dan lainnya. Namun, penekanannnya lebih pada masalah sepadan dari sisi agama. Maksudnya adalah pasangan yang akan kita pilih adalah pasangan yang berdasarkan kacamata agama adalah orang yang baik, yang siap diajak hidup bersama dalam mengarungi kehidupan rumah tangga dalam suka dan duka.
Saat seseorang memilih pasangan hidup berdasarkan tolok ukur agama (dengan penjelasan sederhananya ialah karena Allah), maka ia tidak akan kecewa berat saat mendapatkan kekurangan yang dimiliki oleh pasangannya pasca pernikahan, yang tidak diketahui sebelumnya. Karena ia akan menyadari bahwa setiap manusia (selain para manusia pilihan Tuhan dan para manusia suci), tidak akan pernah lepas dari kekurangan. Setiap orang dibalik kelebihan yang dimilikinya, pasti ia akan memiliki kekurangan. Seringnya jika seorang istri atau suami, tidak melihat pasangannya berdasarkan kaca mata agama niscaya ia hanya akan berusaha memandang sisi kekurangan pasangannya saja, kemudian hal itu diperbesar yang akhirnya akan merusak keutuhan rumah tangga yang telah dibina dengan susah payah. Satu sama lain akan selalu berusaha mencari kekurangan yang lainnya, saling merendahkan dan tidak saling menghormati. Di saat itu, kehidupan rumah tangga akan terasa pahit bagi pasangan suami-istri tersebut, dan selalu dipenuhi dengan perselisihan.
Oleh sebab itu, dalam mengatasi masalah ini, agama Islam telah memberikan jalan keluarnya. Yaitu dengan menerima pasangan hidup kita apa adanya. Bagaimana caranya? Dengan melihat sisi-sisi kelebihan yang dimiliki oleh pasangan kita. Dan menyadari bahwa sebagaimana kita sendiri tidak sempurna maka pasangan kita pun pastilah tidak sempurna. Selain memiliki kelebihan, pasti ia memiliki kekurangan. Cara yang obyektif dan ril adalah berusaha tidak fokus pada kekurangan pasangan.
Dari pada sibuk melihat kekurangan pasangan, lebih baik bersyukur atas kelebihan-kelebihannya, selama kekurangan tersebut tidak fatal. Apalagi jika sampai membandingkannya dengan yang lain.
“Lihatin Pa, suaminya tetangga lebih baik dari Papa. Ayo dong Papa juga kaya dia, nyari uang siang-malam. Papa bukan suami yang romatis!”.
“Lihatin Ma, istrinya tetangga pintar masak!”
“Lihatin Ma, istrinya fulan pintar membuat kerajinan, keterampilan dan lainnya. Gimana sih Mama ini nggak bisa apa-apa!”.
Siapa pun tidak ada yang senang jika dibandingkan dengan orang lain. Karena selain akan merasa dijatuhkan harga dirinya, ia juga akan merasa kehilangan rasa percaya diri. Seorang pasangan istri-suami pun demikian pula. Ia hendak berusaha merasa bangga dengan kelebihan yang dimiliki oleh pasangannya. Dan dengan rasa bangga ini, sebaliknya, akan menambah erat hubungan keharmonisan sebuah rumah tangga. Suami-istri harus berusaha selain melakukan pujian terhadap pasangannya yang keluar dari dalam hati, juga harus dibuktikan dalam prilaku dan lisan. Hendaknya tidaklah sungkan mengatakan hal tersebut kepada pasangan.
“Aku bangga padamu sayang, engkau suami yang baik!“
“Aku bangga padamu sayang, engkau istri yang pengertian.”
Tentunya ungkapan-ungkapan semacam ini, akan lebih berpengaruh dalam jiwa apabila keluar dari hati sanubari. Karena itu, janganlah hidup ini dibuat repot, selalu berusaha untuk menjadikan rumah tangga kita seperti rumah tangga orang lain. Nikmatilah hidup apa adanya, dan jangan menyibukan diri memata-matai kehidupan orang lain dan lantas membanding-bandingkannya. Kehidupan akan dirasakan pahit atau manis itu kembali kepada diri kita sendiri. Jika kita selalu berusaha untuk menjadikan pasangan kita sebagai manusia yang sempurna seperti orang lain, selain kita dan pasangan kita sendiri akan merasa capek dengan perbuatan sia-sia tersebut (karena mustahil akan bisa diraih), juga tidak akan pernah dapat menikmati kehidupan yang kita alami secara riil. Sebelum terlambat, marilah kita memulai untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih indah. Tentunya dengan menjalankan tips-tips yang telah dianjurkan oleh agama Islam.
[]