Hampir sebagian besar kita menduga bahwa, kita dapat memasuki surga-Nya lantaran amal baik yang setumpuk. Dengan meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa, mengakui Muhammad utusan-Nya, mendirikan shalat lima waktu sehari, berpuasa Ramadhan sebulan penuh, membayar zakat, dan melakukan ibadah haji ke Makkah jika kita mampu.
Bahkan, ada pula yang menambahkannya dengan berbagai amalan atau ibadah sunnah lainnya, dengan harapan bisa memenuhi target terbesar hidup kita, yakni masuk surga. Kita merasa bahwa sederet amal itu sebanding dengan harga surga. Dan, karenanya pantaslah bila kita kemudian dipersilakan memasukinya.
Namun, Ibn Atoilah, dalam hampir setiap aforismenya, mengatakan, manusia perlu waspada bila sudah mulai memuji dirinya, memuji amalnya, bahkan merasa kebenaran itu milik dirinya. Manusia patut menilik kembali keyakinan dalam hatinya, apakah ia benar-benar mengimani Allah dengan segenap keberserahan dirinya, atau hanya ingin menukar semua yang dilakukan dengan surga.
Jika seseorang percaya bahwa melalui tindakan ini mereka akan mendapatkan kebahagiaan mereka di akhirat, ia patut memberikan penilaian ulang terhadap dirinya.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Tidak akan ada di antara kalian yang masuk surga lantaran amal ibadah kalian.”
Para sahabat bertanya, "Tidak ada, bahkan itu berlaku untukmu, Ya Rasulullah?"
Rasul menjawab, "Bahkan aku pun tidak, kecuali jika Allah meliputiku dengan kasih dan sayang-Nya."
Cerita dalam hadis di atas bukan berarti kita harus berhenti melakukan kewajiban dan kemudian melakukan tindakan seenaknya tanpa melihat rambu-rambu-Nya. Hadis tersebut menunjukkan apalah artinya kita, yang bahkan sudah melakukan amal sedemikin banyak pun, jika dihitung, tak akan pernah mencukupi segala karunia-Nya.
Betapa sombongnya kita jika berusaha tawar menawar dan menghitung-hitung tiap detail yang kita lakukan guna ditukar dengan surga. Padahal, apa yang dilakukan tidak akan cukup untuk menunjukkan terima kasih kepada Allah atas segala kasih sayang-Nya yang diberikan tanpa henti.
Ada sebuah kisah, yang menceritakan tentang seorang pria petapa memilih hidup di pegunungan untuk menjauh orang-orang. Hal ini ia lakukan dengan maksud agar tidak melakukan dosa pada makhluk yang lain.
Selama 500 tahun ia menghabiskan waktunya hanya untuk berdoa dan beribadah. Ia hanya makan buah delima yang tumbuh di sekitar tempat petapanya itu. Ia juga hanya meminum mata air di dekatnya, dan tidak melakukan kontak dengan siapa pun. Ia nyaris bebas dari doa.
Ketika meninggal, Allah berkata kepadanya, "Masukkan ia ke dalam surga karena kasih sayang-Ku". Pria itu berteriak dan berkata, "Dengan amalku, Tuhan".
Ia mengira bahwa amalnya selama 500 tahun, dengan tanpa melakukan dosa sedikit pun mampu ditukar dengan surga, dan mendapatkan pahala yang paling besar.
Allah menjawab dengan mengatakan, "Benarkah kamu ingin diadili?" Kemudian Allah memerintahkan para malaikat, "Perlihatkan buku amalnya, dan hitunglah!”
Para malaikat segera rembukan, membahas setiap detail amal yang pernah dilakukan sang rahib tersebut. Usai menghitung, salah satu malaikat pun melaporkan dan menimbangnya dengan besarnya kasih sayang Allah. "500 tahun ibadah dengan tanpa dosa ditimbang dengan kasih sayang Robbul Izzat.” Ujar sang malaikat.
Pada titik ini, pria itu panik dan menangis seraya berkata, “Ya, Robb. Sungguh karena rahmat-Mu lah aku bisa memasuki surga.”
Ibn Atoilah menjelaskan sederet kisah di atas untuk membimbing kita, agar tidak merasa berhak atas reward sebagai akibat dari amal kita. Bahkan, Allah memberitahu kita dalam Qur’an bahwa semua yang kita lakukan sesungguhnya karena kita dipandu dan diarahkan Dia, sehingga kita mampu melakukan amal-amal yang baik.
Oleh karena itu, Ibn Atoilah menekankan pada kita akan pentingnya sikap keberserahan diri hanya pada-Nya. Harapan kita bisa berjumpa dengan Allah bukan karena kita melakukan amal ibadah. Melainkan, karena kita diperintahkan untuk melakukannya, dan kita akan terus melakukannya bahkan jika tidak ada surga atau neraka.
Jika pun merasa telah melakukan pelanggaran, yang sekiranya membuat Allah murka, maka bukankah Dia, sang maha pengasih (juga) maha pemaaf?
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang terus-menerus bertobat dan menyucikan diri." (Qs. Al Baqarah: 222)
Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ada tiga tipe alasan mengapa manusia menyembah Allah. Pertama, ketaatan para budak. Mereka beribadah dan menyembah Allah hanya karena takut hukuman-Nya, ia takut masuk neraka akibat perbuatannya.
Kedua, ketaatan para pedagang. Mereka beribadah dan menghitung-hitung setiap detail perbuatannya dan kemudian berusaha menimbang, seberapa banyak reward yang mereka dapatkan untuk setiap perbuatannya.
Kedua jenis tipe ketaatan ini banyak terdapat di tengah-tengah kita. Beberapa orang di antara mereka takut meninggalkan kewajiban hanya karena takut mendapat balasan neraka. Beberapa di antaranya lagi butuh motivasi yang dapat membuatnya semangat beribadah, dengan kaitannya dengan besarnya nilai pahala. Jika pahalanya besar, maka ia akan bergegas segera melakukannya. Sebaliknya, jika pahalanya dinilai kecil, tak sungkan-sungkan ia pun berleha-leha terhadapnya.
Tidak ada yang salah dan buruk dari kedua tipe ketaatan ini. Namun, Rasul Saw. merekomendasikan tipe ibadah bentuk ketiga, dan ini merupakan bentuk ketaatan tingkat tertinggi seorang hamba Tuhan. Yakni, ketaatan para pecinta yang berdasarkan rasa syukur.
Segala hal yang dilakukan para pecinta ini diniatkan hanya karena alasan mencintai-Nya, dan karenanya ia ingin mendapatkan ridha-Nya. Mereka benar-benar percaya, apa pun yang dilakukannya didasarkan atas dasar keyakinannya akan Dia yang maha pengasih. Mereka tidak takut apakah yang dilakukan itu mengantarkannya ke surga, atau bahkan ke neraka. Ia hanya yakin bahwa hanya Allah lah yang memang layak untuk disembah.
Hal ini dicontohkan Muhammad Saw. Meski sudah dijamin masuk surga, dan bahkan Allah menjanjikan kenikmatan langsung berjumpa dengan Sang Maha Rahman, namun beliau tetap saja melakukan ibadah. Beliau tidak sekali pun meninggalkan kewajiabannya sebagai Muslim. Beliau berdoa, shalat, bangun di tengah malam tahajud, hingga kakinya bengkak.
Ketika Aisyah ra bertanya mengapa dia shalat sunnah begitu banyak, padahal Rasul tahu bahwa Allah telah mengampuni masa lalu dan masa depannya, ia menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Inilah yang dimaksud Ibn Atoilah, “Amal kita bukan alasan bagi keselamatan kita. Kasih dan sayang-Nya lah satu-satunya alasan mengapa kita mendapat keselamatan.”
Kita menyembah karena Allah memerintahkan kita untuk melakukannya dan Dia Maha Tinggi, sehingga memang layak disembah. Ketika kita berdosa atau lalai akan kewajiban di suatu waktu, maka bukankah kembali, bertaubat, merintih pada-Nya merupakan satu-satunya jalan yang amat mulia untuk menggapai rahmat-Nya?